Follow TRILOGI untuk mendapatkan informasi terbaru. Klik untuk follow WhatsApp Chanel & Google News

“Judulnya menggigit, tapi yang digigit justru jurnalisnya”. Itulah yang dialami Hendly Mangkali, jurnalis Beritamorut.id, setelah memberitakan dugaan skandal asmara pejabat di Morowali Utara. Tak lama berselang, Polisi menetapkannya sebagai tersangka pencemaran nama baik. Bukan karena isi beritanya, tapi karena ia membagikan tautan berita itu di akun media sosialnya.

Pasal ITE diseret masuk, Undang-Undang Pers dilangkahi. Di balik berita yang mengusik elite lokal, tersembunyi permainan hukum yang menunggangi kuasa sebuah pola pembungkaman yang makin lazim di daerah.

Kasus Jurnalis Hendly Mangkali membuka tabir betapa rentannya kebebasan pers di tengah kuasa politik lokal di Sulawesi Tengah.

Kriminalisasi Hendly
Dr. Muslimin Budiman, kuasa hukum Hendly Mangkali

“Saya tidak melihat ada unsur pencemaran nama baik. Identitasnya saja tidak disebut,” kata Dr. Muslimin Budiman, kuasa hukum Hendly Mangkali, dengan suara tenang namun tegas, Sabtu siang itu, 3 Mei 2025.

Ia baru saja membaca ulang berita yang membuat kliennya, seorang jurnalis dari media daring Beritamorut.id, ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik.

Tajuk berita yang memicu badai hukum itu berbunyi: “Istri Bos di Morut Main Kuda-kudaan dengan Bawahan.” Isinya memuat dugaan perselingkuhan seorang pejabat publik di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Tak ada nama disebut. Hanya istilah umum: “bos”, “A”, dan “bunga”. Tapi justru dari ketidaksengajaan menyebut nama itulah, aparat menggali motif pidana.

Dalam hitungan hari, Hendly bukan lagi sekadar pewarta. Ia menjelma simbol perlawanan atas kriminalisasi pers di kasus Hendly Mangkali.

Pelapor kasus ini bukan warga biasa. Ia adalah Febrianti Hongkiriwang, anggota DPD RI sekaligus istri Bupati Morowali Utara.

Kepada penyidik Polda Sulteng, Febrianti mengaku namanya dicemarkan oleh berita tersebut. Padahal, berita itu tidak menyebutkan dirinya secara eksplisit.

Tapi penyidik tetap melangkah. Hendly dilaporkan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik, hanya karena membagikan link berita yang ia tulis sendiri ke akun media sosial pribadinya.

Kriminalisasi Pers
Kolase Foto : Mohammad Iqbal Ketua AMSI Sulteng, Murthalib, Ketua JMSI Sulteng & Andi Attas Abdullah, Sekretaris SMSI Sulteng

“Ini preseden berbahaya,” ujar Mohammad Iqbal, Ketua AMSI Sulteng melalui siaran persnya. “Apa yang dilakukan Hendly adalah kerja jurnalistik yang dijamin Undang-Undang Pers. Tapi malah dikriminalisasi lewat jalur pidana digital.”

Iqbal tak sendiri. Dari Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) hingga Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), semua mengangkat suara.

“Kalau seperti ini caranya, ke depan siapa lagi yang berani menyuarakan kebenaran?” kata Murthalib, Ketua JMSI Sulteng.

Menurut UU Pers No. 40 Tahun 1999, sengketa jurnalistik semestinya diselesaikan lewat mekanisme Dewan Pers, bukan polisi.

Tapi aparat tampaknya lebih tergoda pendekatan pidana, terutama bila pelapornya punya kuasa politik.

“Itu justru bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” kata Andi Attas Abdullah, Sekretaris SMSI Sulteng. “Ada mekanisme etik dalam pers, yang dibangun agar demokrasi tidak terinjak sepihak.”

Di sinilah Kasus ITE Hendly Mangkali menjelma ancaman nyata bagi pers lokal.

UU ITE yang semula lahir untuk menertibkan ujaran kebencian di ruang digital, kian sering dijadikan alat membungkam mereka yang bersuara.

Bagi Muslimin Budiman, kasus ini tak lebih dari upaya menutupi borok kuasa dengan selimut hukum.

Ia menyatakan, dalam hukum pidana unsur delik sangat ketat: harus ada kehendak (mens rea), subjek yang jelas, dan unsur perbuatan nyata yang menyerang kehormatan.

“Beritanya pakai kata ‘dugaan’. Namanya disamarkan. Fotonya tidak ada. Tidak ada unsur niat jahat. Bahkan yang merasa tersinggung harus mengakui bahwa dialah tokoh yang dimaksud, padahal sebelumnya itu tidak terang,” kata Budiman.

Dengan kata lain, jika pelapor yakin berita itu menyerang dirinya, maka ia sendiri yang membuka identitas yang semula abu-abu. Ironis.

Lebih ironis lagi, media tempat Hendly bekerja menyusun beritanya berdasarkan sumber terpercaya, menyamarkan identitas, dan mengikuti kaidah jurnalistik. Tidak ada itikad buruk.

Tapi kuasa, tampaknya, lebih cepat tersinggung ketimbang logika hukum berjalan.

Kasus Hendly bukan sekadar perkara pribadi. Ia adalah penanda kemunduran demokrasi di pinggiran republik. Sulawesi Tengah, seperti banyak daerah lain, menyimpan potensi konflik kepentingan antara pers dan elite lokal.

Ketika relasi kekuasaan merangkap jabatan publik dan keluarga, ruang kritik menjadi sempit, dan pasal karet menjadi senjata.

Kriminalisasi pers di kasus Hendly Mangkali bukanlah insiden tunggal. Ia bagian dari pola. Setiap tahun, puluhan jurnalis Indonesia diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan diserang secara fisik karena tulisan mereka menyentuh urat syaraf kekuasaan.

“Kalau kasus seperti ini dibiarkan, artinya demokrasi kita sedang main kuda-kudaan dengan kepentingan elit,” sindir seorang jurnalis senior di Palu, yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.

Kini, Dewan Pers didesak segera turun tangan. Para organisasi pers menyerukan solidaritas nasional untuk mendukung Hendly.

Mereka tidak hanya menuntut penghentian proses hukum, tapi juga meminta Kepolisian Polda Sulteng mengembalikan sengketa ini ke jalur yang sah: Dewan Pers.

Jika tidak, gelombang perlawanan akan makin keras. Sebab ini bukan soal satu orang jurnalis, tapi soal hak publik untuk tahu dan berbicara.

Kasus Jurnalis Hendly Mangkali adalah potret kecil dari kegagapan hukum terhadap kebebasan berekspresi. Di balik sematan pasal ITE, terbuka luka lama relasi kuasa dan kebebasan.

Jika negara terus membiarkan hukum dijadikan alat balas dendam pribadi, maka bukan hanya jurnalis yang jadi korban. Demokrasi pun ikut dibungkam. Dan di negeri ini, kuda-kudaan yang dimainkan penguasa seringkali menginjak-injak kepala rakyat. Termasuk jurnalis.