Investigasi keuangan yang dilakukan oleh Tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) mengungkap dugaan praktik korupsi dan pencucian uang di sektor perkebunan sawit.

Fokus investigasi ini adalah anak perusahaan PT Astra Agro Lestari  yang diduga memanfaatkan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN XIV tanpa izin resmi selama lebih dari satu dekade.

Aktivitas ilegal ini, yang dimulai sejak 2008, dilaporkan telah merugikan negara hingga Rp79,4 miliar.

Penyidik Kejati kini memperluas pemeriksaan, termasuk terhadap jajaran petinggi PT AALI, guna menelusuri aliran dana dari hasil aktivitas ilegal di lahan negara tersebut.

PT Rimbunan Alam Semesta (RAS), anak perusahaan PT AALI, menjadi pusat perhatian dalam kasus ini. Berdasarkan data yang diperoleh Kejati Sulteng, PT RAS telah memanen kelapa sawit di atas lahan milik PTPN XIV tanpa membayar sewa sejak 2008.

Lahan tersebut merupakan area HGU yang dikelola PTPN XIV berdasarkan izin resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kerugian negara mencapai Rp79,4 miliar dihitung berdasarkan nilai sewa lahan yang semestinya dibayarkan oleh PT RAS.

Di kutip dari Deadlinenews belum lama ini, Kepala Kejati Sulteng, Dr. Bambang Hariyanto, SH, M.Hum, melalui Laode Sofyan, Kasi Penkum Kejati Sulteng menjelaskan bahwa nilai kerugian ini masih dari satu komponen.

“Potensi kerugian bisa lebih besar jika seluruh aspek diperhitungkan, termasuk kerusakan lingkungan,” katanya.

Investigasi keuangan menunjukkan bahwa PT RAS, yang 99,9 persen sahamnya dimiliki oleh PT AALI, diduga beroperasi sebagai perusahaan boneka.

Modus ini memungkinkan PT AALI memanfaatkan luas lahan yang melebihi batas perizinan yang diperbolehkan bagi satu perusahaan.

Selain itu, PT Agro Nusa Abadi (ANA) dan PT Sawit Jaya Abadi (SJA), anak perusahaan lain dari AALI, juga disebut-sebut terlibat dalam aktivitas ilegal serupa.

Sumber penyidik menyebutkan bahwa struktur keuangan yang diterapkan PT AALI memudahkan aliran dana hasil panen kelapa sawit masuk ke rekening induk perusahaan. Modus ini menjadi salah satu fokus utama penyelidikan TPPU.

Sebagai bagian dari investigasi keuangan, Direktur Keuangan PT AALI, Tingning Sukowignjo, dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Kamis, 21 November 2024.

Tingning diduga mengetahui aliran dana hasil aktivitas ilegal anak perusahaannya. Sebelumnya, Direktur Operasional PT AALI, Arief Catur Irawan, juga telah diperiksa terkait kasus yang sama.

Tidak hanya itu, penyidik juga memanggil mantan Direktur PT AALI, Rujito Purnomo, serta sejumlah pejabat lain, termasuk Kepala Divisi Finance Holding PT AALI, Daniel Paolo Gultom.

Daniel sempat mangkir dari panggilan pada 4 November 2024, namun akhirnya memenuhi pemeriksaan pada 7 November.

Selain jajaran direksi PT AALI, auditor publik Buntoro Rianto dari Tanudireja Wibasana turut diperiksa untuk memberikan klarifikasi atas laporan keuangan PT RAS. Pemeriksaan berlangsung selama 12 jam dan menghasilkan temuan awal terkait dugaan manipulasi laporan keuangan.

Selain aspek keuangan, alih fungsi lahan yang dilakukan PT RAS juga menyebabkan kerusakan lingkungan signifikan.

Sebanyak 6.110 hektare kawasan hutan dialihfungsikan tanpa izin, mengakibatkan hilangnya tutupan hutan dan mengancam keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.

Tindakan ini juga berpotensi menghilangkan penerimaan negara dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Dari sisi sosial, PTPN XIV kehilangan potensi pendapatan tahunan sekitar Rp6,6 miliar sejak 2009.

Investasi senilai Rp12 miliar yang digunakan PTPN XIV untuk penanaman kelapa sawit juga menjadi sia-sia akibat tindakan PT RAS yang menebang pohon tanpa izin.

Kasus ini juga mengungkap kelemahan dalam sistem pengelolaan lahan di Indonesia. Pada 2006, PT RAS memperoleh izin lokasi seluas 21.289 hektare dari Bupati Morowali.

Izin ini mencakup sebagian besar lahan yang telah dikelola PTPN XIV berdasarkan sertifikat HGU resmi. Tumpang tindih perizinan ini menjadi celah yang dimanfaatkan PT RAS untuk menjalankan aktivitas ilegal.

Penyidik Kejati Sulteng menilai bahwa lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat dalam penerbitan izin menjadi salah satu akar masalah.

“Kasus ini mencerminkan perlunya perbaikan sistem tata kelola agraria di Indonesia,” kata Laode Sofyan, Kasi Penkum Kejati Sulteng.

Kejati Sulteng memastikan akan terus menggali aliran dana yang berasal dari aktivitas ilegal ini.

Fokus utama adalah memastikan dana tersebut tidak dialihkan ke luar negeri atau digunakan untuk memperbesar keuntungan perusahaan induk.

Selain itu, penyidik berkomitmen memulihkan kerugian negara dan menindak tegas semua pihak yang terlibat.

Kasus ini menjadi perhatian luas, mengingat dampaknya yang tidak hanya bersifat finansial tetapi juga lingkungan dan sosial.

Penegakan hukum yang tegas dan transparan diharapkan dapat mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan, sekaligus mendorong tata kelola perkebunan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.

Dengan investigasi keuangan yang terus berjalan, publik menanti langkah konkret dari Kejati Sulteng untuk menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.

Penegakan hukum yang adil menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan terhadap pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.