Di balik hamparan kebun sawit Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, tersimpan sebuah skandal besar. PT Rimbunan Alam Sentosa (PT RAS), perusahaan perkebunan swasta, diduga meraup keuntungan dari lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN XIV tanpa izin resmi.
Sejak 2008, Sekarut persoalan yang membelit PT RAS, anak perusahaan PT Astra Agro Lestari dilaporkan telah memanen kelapa sawit di atas lahan negara tanpa membayar sewa. Lebih dari satu dekade, aktivitas ilegal ini diperkirakan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 79,4 miliar.
PT Astra Agro Lestari, yang menguasai 99,9 persen saham PT RAS, kini menjadi sorotan. Meski menyandang status sebagai induk perusahaan, Astra diduga membiarkan aktivitas anak perusahaannya berlangsung di atas lahan negara dan kawasan hutan tanpa izin.
Bahkan, keuntungan yang diraup dari lahan tersebut ditenggarai mengalir ke induk perusahaan tanpa mempertimbangkan dampak hukum maupun kerugian lingkungan yang terjadi.
Kini kasus yang membelit perusahaan swasta itu masih bergulir di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah sebagai salah satu sengketa agraria yang menimbulkan kerugian besar bagi negara.
Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dihimpun Trilogi menyoroti dampak hukum, ekonomi, dan lingkungan dari kasus ini, yang mencerminkan kelemahan pengawasan agraria dan tata kelola perkebunan di Indonesia.
Awal Mula Sengketa
PTPN XIV, kini dikenal sebagai PTPN I Regional 8, memperoleh Izin Lokasi resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Februari 1999 untuk lahan seluas 28.200 hektare.
Di atas lahan tersebut, PTPN XIV telah menanam sekitar 35.000 pohon kelapa sawit. Pada tahun yang sama, perusahaan mengajukan Sertifikat HGU, yang akhirnya diterbitkan pada 2009. Sertifikat ini mencakup dua area: 2.854 hektare (HGU No. 02) dan 3.146 hektare (HGU No. 08).
Namun, pada 2006, PT RAS mendapatkan Izin Lokasi seluas 21.289 hektare dari Bupati Morowali tanpa pertimbangan teknis dari BPN. Ironisnya, izin tersebut mencakup sebagian lahan yang sudah dikelola PTPN XIV.
PT RAS kemudian menebang tanaman kelapa sawit milik PTPN XIV dan mengoperasikan perkebunan tanpa membayar sewa. Tindakan ini menyebabkan kerugian investasi PTPN XIV senilai Rp 12 miliar untuk periode 1997–2006.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tengah, Bambang Hariyanto mengatakan, penanganan kasus adanya tumpang tindih lahan PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS), anak perusahaan PT Astra Agro Lestari dengan PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV) masih sedang berjalan.
“Penanganannya masih sedang berjalan. Nanti kalau semuanya sudah tuntas kita akan buka ke publik,” kata Kajati, Jumat 15 November 2024.
Bambang Hariyanto mengatakan, pihaknya sudah memanggil sejumlah pihak yang terkait dengan persoalan tersebut. Selama penanganan kasus ini kata Bambang, pihaknya berpendapat mereka yang dipanggil sangat kooperatif.
“Kami mengapreasiasilah. Mereka kooperatif menghadiri panggilan,” tegas orang pertama di Kejati Sulteng itu.
Tidak hanya kooperatif, Kajati juga menilai pihak perusahaan punya iktikad baik untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Ada keinginan mereka untuk mengembalikan kerugian negara dan kami mengapresiasi itu,” ujar Kajati.
Kejaksaan menduga ada tindak pidana dan harus dikembalikan ke negara. “Sampai saat ini kami masih menunggu,” kata Kajati berharap.
Operasi Ilegal di Lahan Negara
PT RAS mulai memanen kelapa sawit di lahan HGU PTPN XIV sejak 2008. Hingga 2023, aktivitas ini terus berlanjut tanpa pembayaran sewa atau kompensasi kepada PTPN XIV sebagai pemilik resmi HGU.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.06/2012, nilai sewa yang seharusnya dibayarkan PT RAS mencapai Rp 79,4 miliar. Selain itu, PT RAS mengelola 6.110 hektare kawasan hutan tanpa izin resmi.
Aktivitas ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan potensi kerugian penerimaan negara dari dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, hingga denda eksploitasi ilegal.
Dampak lingkungan akibat alih fungsi hutan secara ilegal menjadi isu serius, dengan hilangnya tutupan hutan yang mendukung keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.
Dampak Kerugian
Kerugian yang ditimbulkan dari kasus ini tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga mencakup kerusakan lingkungan. Penggundulan hutan untuk perluasan perkebunan ilegal PT RAS menimbulkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem lokal.
Sebagai perusahaan negara, PTPN XIV kehilangan manfaat ekonomi yang seharusnya diperoleh dari lahan HGU mereka, senilai Rp 6,6 miliar per tahun sejak 2009.
Pada aspek agraria, kasus ini mencerminkan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan izin lahan.
Tumpang tindih izin lokasi dan sertifikat HGU menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pihak swasta seperti PT RAS untuk mengklaim lahan secara ilegal.
Upaya Hukum dan Teguran PTPN XIV
PTPN XIV telah memberikan teguran tertulis kepada PT RAS sejak awal konflik. Namun, teguran tersebut tidak diindahkan.
PT RAS terus memanen kelapa sawit di lahan HGU PTPN XIV hingga saat ini. Kejaksaan Agung diminta untuk turun tangan mengusut dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang mungkin terkait dengan kasus ini.
Kasus ini mengingatkan pada penyelidikan sebelumnya terhadap Duta Palma Group, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi di kawasan hutan.
Namun, berbeda dengan Duta Palma, PT RAS tidak hanya melanggar hukum dengan masuk kawasan hutan tanpa izin, tetapi juga mengoperasikan lahan HGU milik BUMN tanpa membayar sewa.
Pemerintah, melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), didesak untuk memperkuat pengawasan terhadap pengelolaan lahan dan memastikan tidak ada pelanggaran serupa di masa depan.
PTPN XIV sebagai pemilik sah lahan berstatus negara harus mendapatkan kembali hak ekonominya yang dirampas selama lebih dari satu dekade.
Berbagai pihak mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah tegas terhadap PT RAS. Restitusi atas kerugian negara, pemulihan lingkungan, dan penegakan hukum yang lebih ketat menjadi tuntutan utama dari masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat regulasi agar konflik serupa tidak terulang di masa depan.
Skandal PT Rimbunan Alam Sentosa menjadi pengingat keras bahwa lemahnya tata kelola agraria dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Hingga kini, publik masih menunggu keadilan atas kasus ini. Apakah PT RAS akan dimintai pertanggungjawaban atas aktivitas ilegalnya? Ataukah kasus ini akan menjadi satu lagi sengketa agraria yang hilang di tengah kebisingan politik dan ekonomi ? Hanya waktu yang akan menjawab.