Tambang batu milik sejumlah perusahaan di Kota Palu dan Donggala, menimbulkan persoalan kesehatan dan lingkungan. Beberapa persoalan terjadi lantaran tambang batu itu diantaranya debu dari pabrik penggilingan, polusi udara dan pencemaran lingkungan.

Suara deru mesin tak pernah henti. Debu-debu beterbangan dan menyelimuti udara pesisir pantai Palu-Donggala. Aktivitas tambang batuan di sepanjang pantai ini mengundang kekhawatiran berbagai pihak, terutama organisasi lingkungan seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah.

Mereka mendesak Pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan tindakan tegas terhadap operasi tambang yang dinilai merusak lingkungan serta mengancam kesehatan masyarakat sekitar.

Pesisir pantai yang biasanya menjadi simbol keindahan dan ketenangan kini berubah menjadi zona industrialisasi yang penuh hiruk-pikuk. Sepanjang jalanan di area tersebut, truk-truk besar pengangkut material tambang berlalu-lalang, meninggalkan jejak debu tebal yang menutupi pepohonan dan permukiman warga. Suara mesin berat menggali pasir dan batu tak henti-hentinya memecah keheningan pantai.

“Mata saya perih setiap hari,” keluh salah seorang nelayan lokal kepada Trilogi yang telah menggantungkan hidupnya dari laut selama lebih dari satu dekade. “Dulu, saya bisa melihat laut biru dari rumah. Sekarang, hanya debu dan debu.”

Dampak Lingkungan dan Kesehatan

Melalui siaran pers, JATAM dan WALHI Sulteng dalam investigasinya menemukan banyak pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tambang batuan di wilayah ini.

Mereka menyebutkan bahwa kegiatan tambang ini tidak hanya merusak ekosistem laut dan pesisir, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat sekitar.

“Partikel debu yang berterbangan dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan, terutama bagi anak-anak dan lansia” ujar Wandi, aktivis lingkungan dari WALHI Sulteng. “Kami juga menemukan indikasi dari polusi aktifitas tambang batu, kini semakin hari memperparah kondisi lingkungan”

Tidak hanya debu, limbah dari proses penambangan juga mencemari air laut. Nelayan mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang semakin menurun. “Ikan-ikan seperti hilang. Terumbu karang yang dulu jadi rumah mereka sekarang rusak,” tambah nelayan lokal dengan nada putus asa.

Menanggapi situasi ini, JATAM dan WALHI Sulteng mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin dan operasional perusahaan tambang yang beroperasi di pesisir Palu-Donggala.

Mereka menuntut agar pemerintah lebih tegas dalam menegakkan aturan lingkungan hidup dan tidak segan-segan mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar.

“Kami meminta agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan audit lingkungan secara independen dan transparan,” tegas Moh Taufik Koordinator JATAM Sulteng. “Jika ditemukan pelanggaran, izin perusahaan harus dicabut dan pemulihan lingkungan harus segera dilakukan.”

Fakta lapangan yang didapatkan oleh JATAM Sulawesi Tengah, salah satu wilayah yang diduga terdampak langsung kegiatan tambang pasir dan batuan, berada di Kelurahan buluri Kota Palu, sebagian besar masyarakat lingkar tambang ini, mengeluhkan dampak debu yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan.

Dari data yang dimiliki oleh JATAM Sulawesi Tengah saat ini, izin pertambangan yang berstatus Operasi Produksi di Kota Palu berjumlah 34 Izin dan untuk Kabupaten Donggala Izin Usaha Pertambangan yang berstatus Operasi Produksi berjumlah 54 Izin.

Dampak debu yang diduga dari kegiatan pertambangan tersebut, berpotensi mengakibatkan masyarakat di sekitaran kegiatan tambang dan pengguna jalan terpapar penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA).

“Kami mendesak pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan kewenangannya yang diatur dalam PERPRES Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Izin Berusaha Di Bidang Pertambangan Mineral dan Batuan, Harus segera memerintahkan Inspektur Tambang untuk melakukan evaluasi seluruh kegiatan pertambangan Pasir dan batuan di sepanjang Pesisir Kota Palu dan Kabupaten Donggala” ujar Taufik aktivis tambang melalui siaran pers JATAM Sulteng.

JATAM Sulteng Juga mendesak Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala, tambah Taufik, bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi seluruh Izin-Izin lingkungan yang telah dikeluarkan. Jika ada ada indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang mengakibatkan masyarakat terdampak.

“Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala juga harus mengambil langkah tegas untuk memberikan sanksi kepada perusahaan tambang tersebut” desaknya.

Realitas di Lapangan

Kondisi kenyataan di lapangan berkata lain. Warga setempat yang paling dekat dengan area tambang, mengaku tidak pernah melihat adanya upaya monitoring atau kegiatan pemulihan lingkungan dari pihak perusahaan.

“Mereka hanya mengambil, tidak pernah mengembalikan,” kata seorang warga setempat yang meminta identitasnya tidak di publis. “Tidak jauh dari situ, terlihat jelas bekas-bekas galian yang dibiarkan menganga. Lubang-lubang besar menganga menjadi ancaman baru bagi keselamatan warga sekitar area tambang”.

Meskipun situasi terlihat suram, harapan tetap ada. Para aktivis lingkungan terus berjuang mengadvokasi hak-hak masyarakat dan lingkungan. Mereka berkolaborasi dengan akademisi dan pakar lingkungan untuk mencari solusi terbaik.

“Ini adalah perjuangan, tapi kami tidak akan menyerah,” tegas Taufik bersama Wandi. “Lingkungan yang sehat adalah hak semua orang dan kita harus melindunginya.”

Para nelayan bersama warga di lingkar tambang batu tetap berusaha bertahan dan berharap akan adanya perubahan.

Debu yang Mengancam Kesehatan

Jalan Palu-Donggala, yang menjadi urat nadi utama transportasi di Sulawesi Tengah, kini berubah menjadi medan tempur bagi warga setempat. Debu tebal yang berasal dari aktifitas tambang batu galian c untuk proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) baru di Kalimantan Timur kian hari semakin mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengancam kesehatan masyarakat.

Warga yang tinggal di sepanjang jalan ini harus menghadapi kenyataan pahit: udara bersih telah menjadi barang langka.

“Setiap kali saya membuka jendela, debu masuk dan menutupi seluruh ruangan,” ujar warga yang tinggal di Desa Watusampu, salah satu titik paling terdampak.

Debu yang beterbangan bukan hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga membawa dampak serius bagi kesehatan.

Mengutip dari keterangan Dr. Harun Al Rasyid, seorang ahli paru di RSUD Undata Palu yang di publis oleh Portal Sulawesi menjelaskan bahwa paparan debu dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti bronkitis kronis dan bahkan asma.

“Anak-anak dan lansia adalah kelompok yang paling rentan,” tegasnya.

Sementara itu, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Tadulako menunjukkan bahwa kadar partikel debu di daerah ini telah melampaui batas aman yang ditetapkan oleh WHO.

“Konsentrasi PM2.5 dan PM10 di udara sudah mencapai tingkat yang membahayakan kesehatan,” ungkap Dr. Syahrul Hamzah, kepala tim peneliti.

Sumber utama debu tersebut adalah truk-truk besar yang lalu lalang mengangkut material konstruksi untuk pembangunan IKN. Proyek ambisius pemerintah ini memang membawa harapan baru bagi perekonomian, tetapi di sisi lain, pengelolaan dampaknya masih jauh dari memadai.

“Tidak ada upaya signifikan untuk menekan debu. Jalan tidak disiram dan truk tidak ditutup rapat,” keluh Jamaludin, seorang sopir angkutan umum.

Jalan Palu-Donggala kini menjadi saksi bisu dari dilema pembangunan versus kesehatan. Di satu sisi, proyek IKN diharapkan membawa kemajuan, namun di sisi lain, dampak lingkungan yang tak terkendali mengancam kesehatan ribuan warga. Langkah cepat dan tepat dari pemerintah pusat sangat dinantikan untuk mengatasi masalah ini sebelum terlambat.

Jika tidak, warga bersama anak-anak yang terpapar langsung debu dari aktifitas tambang galian c, harus terus berjuang melawan debu yang tidak hanya mengotori rumah mereka, tetapi juga perlahan merusak kesehatan mereka. Masa depan yang cerah harus dibangun tanpa mengorbankan kesehatan generasi sekarang.

Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus segera bertindak untuk memastikan bahwa kemajuan tidak menjadi bencana bagi warga setempat.

Kepungan debu di area tambang sepanjang pesisir pantai Palu-Donggala bukan hanya sekadar isu lingkungan, tetapi juga isu kemanusiaan. Dampaknya menyentuh setiap aspek kehidupan masyarakat setempat. Pemerintah, perusahaan, dan seluruh elemen masyarakat harus bekerja sama untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan adil.

Hanya dengan begitu, pesisir Palu-Donggala dapat kembali menjadi simbol keindahan alam dan sumber kehidupan yang lestari, bukan sekadar tambang yang menguras habis segalanya. Perjuangan JATAM dan WALHI Sulteng adalah cermin dari semangat kolektif untuk menjaga alam dan masa depan bersama. Kita semua memiliki peran dalam menjaga bumi ini, agar tetap menjadi tempat yang layak huni bagi generasi mendatang.