Biasanya, di Indonesia, jumlah uang yang diberi sebagai ongkos utang atau credit dalam microfinancing sekitar antara Rp 50 juta s/d Rp 500 juta. Menurut OJK, penetapan jumlahnya uang utang berdasar daerah usaha di mana usaha itu berdiri; (1) Rp 50.000.000 untuk daerah usaha di dusun/kelurahan, (2) Rp 100.000.00 untuk daerah usaha kecamatan, dan (3) Rp 500.000.000 untuk wilayah kabupaten/kota.
Jumlahnya uang utang memang tidak besar karena microfinancing menarget peminjamnya ialah warga kelas bawah dan pebisnis kecil-menengah. Hingga, persyaratan yang berjalan juga tidak sama dengan bank konservatif yang lain.
Sejarah Microfinancing di Indonesia
Perkembangan sistem microfinancing di Indonesia telah diawali saat Belanda masih menempati Indonesia. Sekitaran akhir era ke-19, mekanisme pendanaan atau credit untuk usaha kecil ada di Purwokerto bernama Hulp en Spaarbank Inlandsche Bestuurs Ambtenaren, yang mempunyai makna Bank Kontribusi dan Tabungan Karyawan.
Pada beberapa tahun berikutnya, ada beragam instansi atau bank yang memberi credit untuk penduduknya di beberapa dusun di Indonesia waktu itu. Sekarang ini, instansi microfinancial yang dikenali di Indonesia ialah LKM atau Instansi Keuangan Micro yang ada di bawah pemantauan Kewenangan Jasa Keuangan (OJK).