Matahari baru saja terbenam di kaki perbukitan Ongka Malino, ketika suara gemuruh mesin ekskavator masih terdengar membelah hening malam.

Di Desa Karya Mandiri, Kecamatan Ongka Malino, Sulawesi Tengah, aktivitas pertambangan tanpa izin (Peti) terus berlangsung.

Seolah tak mengenal hukum, para pelaku beroperasi dengan tenang, seakan tahu bahwa pengawasan hanyalah sekadar formalitas.

Para pekerja tambang ilegal itu bukan sekadar buruh tambang biasa. Mereka bekerja dalam jaringan yang terorganisir.

Di baliknya, ada mafia yang mengendalikan, mengamankan, dan memastikan bisnis emas ilegal ini terus berjalan.

Ironisnya, operasi tambang ilegal ini justru mendapat restu dari beberapa oknum yang diduga aparat.

“Mereka yang punya alat berat tidak mungkin berani masuk kalau tak ada lampu hijau dari pejabat setempat,” ujar seorang sumber yang meminta namanya disamarkan, seperti dilansir dari KoranIndigo Minggu 2 Februari 2025.

Data yang dihimpun menunjukkan setidaknya ada lima alat berat berupa ekskavator dan dua talang penyaring emas yang beroperasi setiap hari.

Dua kali sehari, proses penyaringan dilakukan. Hasilnya mencengangkan: setiap talang mampu menangkap antara 15 hingga 30 gram emas.

Dalam satu hari dikabarkan, total produksi bisa mencapai 60 gram. Jika dikonversikan ke dalam rupiah, nilai emas yang dihasilkan mencapai ratusan juta per hari.

Sementara desa tempat mereka beroperasi, Karya Mandiri, tetap tertinggal dengan infrastruktur yang memprihatinkan.

Namun, ada kejadian tak biasa pada Sabtu (1/2). Aktivitas tambang ilegal tiba-tiba terhenti. Lima alat berat yang biasa mengeruk perut bumi mendadak tak bergerak.

Menurut keterangan sumber yang dilansir KoranIndigo, kunci ekskavator disita oleh oknum aparat.

“Mereka (aparat) menyita kunci alat berat sejak Sabtu. Tapi jangan berpikir ini akhir dari tambang ilegal,” ucapnya dengan nada getir.

Sang koordinator tambang, yang disebut dengan inisial RZL, kini tengah melakukan negosiasi dengan aparat yang menyita kunci. Seberapa jauh negosiasi ini akan berjalan?.

“Lihat saja nanti, biasanya dalam beberapa hari alat-alat itu akan kembali beroperasi,” tambahnya.

Dampak lingkungan dari aktivitas tambang ilegal ini bukan sekadar lubang-lubang besar yang menganga di tengah hutan.

Desa Karya Mandiri adalah wilayah langganan banjir. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Parigi Moutong mencatat tujuh peristiwa banjir menerjang kecamatan Ongka Malino sepanjang 2024.

Dalam rentang Maret hingga Mei, tiga kali banjir besar melanda desa akibat luapan Sungai Karya Mandiri.

Namun, Sekretaris BPBD Parimo, Rivai, tak bisa memastikan apakah banjir itu sepenuhnya akibat aktivitas tambang ilegal.

“Kami belum bisa menyimpulkan, tapi wilayah ini memang rawan,” katanya. Pernyataannya terasa diplomatis, seolah ada kekuatan yang lebih besar yang menghalangi penyelidikan lebih lanjut.

Secara hukum, tambang ilegal jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.

Ancaman pidana lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar telah disiapkan untuk pelaku tambang ilegal.

Namun, seperti yang terjadi di Karya Mandiri, regulasi tampaknya hanya sekadar teks di atas kertas.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM mencatat, sepanjang 2023 terdapat 128 kasus tambang ilegal di 24 provinsi di Indonesia.

Pemerintah telah menyiapkan tiga langkah untuk menekan angka ini: membatasi pergerakan tambang ilegal melalui digitalisasi, melakukan formalisasi tambang rakyat dengan memberikan izin, serta membentuk Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) yang khusus menangani kasus pertambangan ilegal.

Tapi, apakah langkah ini cukup? Fakta di Karya Mandiri berkata lain. Sementara pejabat di Jakarta berbicara soal aturan, ekskavator di Karya Mandiri terus mencakar tanah.

Sungai yang dulunya jernih kini keruh dan berlumpur. Warga hanya bisa mengeluh, tanpa tahu kepada siapa harus berharap.

Hingga negosiasi antara koordinator tambang dan aparat menemui titik akhir, aktivitas ilegal di Karya Mandiri hanyalah soal menunggu waktu.

Seperti yang sudah berkali-kali terjadi, tambang ilegal mungkin akan berhenti sejenak—sebelum kembali beroperasi, dengan atau tanpa izin dari mereka yang seharusnya menegakkan hukum.