Mantan Direktur Rumah sakit Anuntaloko, Kabupaten Parigi Moutong, dr Nurlaela Harate, melaporkan Gencar Djarot 39 tahun yang juga seorang jurnalis media online di Provinsi Sulawesi Tengah, ke Polres Parimout terkait pemberitaan.
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Sulawesi Tengah, memprotes pelaporan ini di Mapolres Parimout. Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam beberapa aliansi tersebut meminta kepada pihak Kepolisian Polda Sulawesi Tengah untuk mengesampingkan pelaporan.

Foto Dok : SMSI Sulteng
Sekretaris SMSI Provinsi Sulawesi Tengah, Syahrul, dalam rilisnya yang diterima Koran Trilogi Selasa malam 16 Juli 2019, mendesak Polisi untuk menggunakan UU 40/1999 tentang Pers dalam menyelesaikan sengketa pers, bukan justru menggunakan UU ITE sebagaimana digunakan pelapor. Penggunaan UU ITE dalam sengketa pers salah alamat dan mengancam kemerdekaan pers.
SMSI Provinsi Sulawesi Tengah menilai Polisi terlalu cepat memproses pelaporan, sehingga mengabaikan kesepakatan Polri dan Dewan Pers soal penanganan sengketa pemberitaan.
Gencar Djarot dilaporkan dan ditersangkakan oleh penyidik Polres Parimout tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui situsweb koranindigo.online. Penyidik kemudian memanggil jurnalis ini untuk dimintai keterangan. Pasal yang digunakan untuk melaporkan jurnalis Gencar Djarot ini, dikenal sebagai pasal karet.
Peristiwa itu bermula ketika Gencar Djarot yang juga pemilik Koranindigo.online, ini menulis dan mengkritik kebijakan sebuah Rumah Sakit Pemerintah di Kabupaten Parigi Moutong yang menyita barang berharga milik pasien miskin yang berobat di rumah sakit Anutaloko Parigi, lalu atas pemberitaan yang di publish di website Koranindigo.online itu, Gencar Djarot, dipidanakan oleh Mantan Direktur Rumahsakit Alutaloko, dr Nurlaela Harate.
Sebelum penetapan Gencar Djarot sebagai tersangka, Pada tanggal 03 Januari 2019, koranindigo.online melakukan konfirmasi kepada direktur BLUD RSUD Anuntaloko Parigi, Nurlaila Harate, terkait penahanan/sita surat kepemilikan tanah milik pasien warga Desa Pelawa, Kecamatan Parigi Tengah, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng), bernama Arfian Jaya (alm).
Penahanan/sita surat kepemilikan tanah tersebut disebabkan keluarga Arfian Jaya (alm) tidak mampu membayar biaya rawat inapnya di RSUD Anuntaloko Parigi sebesar Rp3 juta lebih.
Dikarenakan Nurlela Harate sedang tidak berada ditempat, maka dilakukan konfirmasi per telepon kepada Nurlela Harate. Dalam konfirmasi per telepon itu, Direktur RSUD Anuntaloko Nurlela Harate menyatakan bakal sita apapun barang senilai “hutang” pasien yang tidak mampu membayar, termasuk surat kepemilikan hak tanah, sepeda motor bahkan ponsel.
Maka, setelah mendapatkan pernyataan Direktur BLUD Anuntaloko, Nurlela Harate, pada 30 Januari 2019, pukul 14.46 wita berita tersebut dilansir.
http://koranindigo.online/wp-admin/post.php?post=910&action=edit
Isu terkait penahanan/sita barang pasien miskin oleh BLUD RSUD Anuntaloko tersebut menjadi isu memicu reaksi dari masyarakat Parigi Moutong, bahkan berujung pada aksi massa mengecam kebijakan itu, dan berakhir pada hearing dilakukan oleh DPRD Kabupaten Parigi Moutong. Dalam hearing DPRD itu, Nurlela Harate menyatakan mundur dari jabatan sebagai Direktur BLUD RSUD Anuntaloko dan pindah di Kabupaten lain.
Pada Senin, tanggal 04 Maret 2019, wartawan koranindigo.online bernama Gencar Djarot selaku penulis berita tersebut mendapatkan surat panggilan oleh pihak Polres Parigi Moutong akibat laporan dilakukan bekas Direktur RSUD Anuntaloko Nurlela Harate.
Laporan itu terkait dengan dugaan tindak pidana “mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, dan menyusul pemanggilan lainnya, sehingga pada Tanggal 25 Juni 2019 Gencar Djarot dinyatakan sebagai tersangka.
Tindakan Kepolisian Resor Parimo terkesan mengabaikan Undang Undang Pers No 40 Tahun 1999 serta MoU antara Dewan Pers dan Polri,serta sangat mengancam kebebasan Pers di Sulteng Khususnya serta Di Indonesia pada Umumnya.
Untuk menghadapi Tindakan diskriminatif Polres Parimo, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sulawesi Tengah menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Sulteng untuk mengadvokasi kasus ini.
“Sementara itu,Oktaf Riyadi selaku Ketua Bidang Advokasi / pembelaan Wartawan di PWI Pusat mengecam keras tindakan Kepolisian Resor Parimo terkait penetapan Status tersangka Kepada Genjar Djarot,wartawan yang juga pemilik Media Koranindigo.online akibat tulisannya.
“Seharusnya Polisi mengedepankan penerapan UU Pers Terkait kasus ini,jangan ada unsur kriminalisasi dalam masalah ini,ini adalah masalah serius yang mengancam kebebasan Pers ditanah air ,kita harus bersikap ” tegas Oktav Ryadi melalui Sambungan Telepon kepada Sekertaris Pengurus SMSI Sulteng,Syahrul.
Rencananya,Tim Kuasa Hukum Gencar Djarot akan melakukan Praperadilan terhadap Polres Parimo dipengadilan Negeri Parimo atas penerapan tersangka Kliennya yang dinilai sangat Prematur.
Penulis : Wahyudi / Rilis SMSI Provinsi Sulawesi Tengah.