Dugaan korupsi terkait Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Palu mencuat setelah Kejaksaan Negeri Palu mulai menelusuri potensi kerugian daerah yang diduga berasal dari dana BPHTB yang tidak tercatat.
Kasus ini melibatkan anggaran BPHTB tahun 2018 dan 2019, dengan total nilai Rp 21,7 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp 15,39 miliar berasal dari tahun 2018, sedangkan Rp 6,33 miliar disetorkan pada tahun 2019.
Tim Kejaksaan mengungkapkan adanya “BPHTB Siluman” yang tidak tercatat dalam laporan resmi kas daerah.

Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Palu, Yudi Trisnaamijaya, S.H., M.H., melalui siaran persnya Kamis, 12 September 2024 menegaskan bahwa dugaan ini melibatkan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses penerbitan BPHTB.
“Modus operandi yang terungkap adalah tidak adanya pembayaran BPHTB sebelum sertifikat diterbitkan,” ungkapnya.
Dugaan ini mengindikasikan potensi kerugian bagi keuangan daerah yang seharusnya menjadi pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut hasil penyelidikan awal, Kejaksaan menemukan ketidaksesuaian antara data yang diterima dari Kantor Pertanahan Kota Palu dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Palu.
Laporan tersebut menunjukkan perbedaan signifikan dengan rekening koran penerimaan BPHTB dari wajib pajak. Temuan ini mengarah pada dugaan hilangnya dana sebesar Rp 2,66 miliar yang tidak tercatat di kas daerah.
Tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Palu, yang dipimpin oleh Kasi Pidsus Junaidi, S.H., M.H., memutuskan untuk meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
Langkah ini dilakukan untuk menelusuri lebih jauh peran aktor-aktor yang terlibat dalam penyimpangan dana BPHTB tersebut.
Kejaksaan menegaskan bahwa penyidikan akan difokuskan pada transparansi dan pertanggungjawaban, serta memastikan agar dana yang hilang dapat dikembalikan ke kas daerah.
“Kami berkomitmen mengusut tuntas kasus ini dan menindak tegas pihak-pihak yang bertanggung jawab,” tambah Yudi.
Kasus dugaan korupsi BPHTB Kota Palu ini menarik perhatian publik, terutama karena nilai anggaran yang besar dan pentingnya pengelolaan PAD secara transparan.
Selain itu, Kejaksaan Negeri Palu berharap agar investigasi ini dapat menjadi langkah preventif untuk mencegah terjadinya penyimpangan serupa di masa mendatang.
Dana BPHTB yang seharusnya digunakan untuk pembangunan Kota Palu, berpotensi hilang akibat praktik korupsi yang melibatkan pejabat daerah dan pihak terkait dalam penerbitan sertifikat tanah dan bangunan.
Kasus ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan pengelolaan anggaran daerah di berbagai kota di Indonesia, dengan harapan bahwa proses hukum akan membawa keadilan dan transparansi yang lebih baik dalam pengelolaan keuangan publik.