Puluhan dump truck hilir mudik di jalanan terjal Poboya, Sulawesi Tengah, sejak pagi buta. Aktivitas tambang liar di kawasan itu menggeliat tanpa kendali, merambah tiga titik pengambilan material Kijang 25, Kijang 30, dan Bapolapo.

Di balik dentuman alat berat yang menderu setiap hari, jejak kerusakan lingkungan semakin nyata.

Baca Juga : Sepuluh Kilometer dari Markas Polisi, Zona Merah Tambang Liar Poboya tak Tersentuh

Tiga titik pengambilan material Kijang 25, Kijang 30, dan Bapolapo menjadi pusat tambang ilegal terbesar di kawasan Poboya.

PETI Poboya

Menurut seorang warga lingkar tambang yang meminta identitasnya dirahasiakan, aktivitas ini tak lagi bisa dibendung.

“Setiap hari, truk keluar masuk. Sudah seperti jalan tol tambang,” katanya.

Kawasan itu, yang dulunya berfungsi sebagai daerah resapan air dan penyangga ekologis, kini berubah menjadi kawasan yang gersang dan rentan longsor.

“Kalau hujan dua hari saja, Talise, Tondo, dan Besusu bisa tenggelam. Air larinya dari atas, tapi tanahnya sudah rusak karena tambang ilegal,” ujar warga tersebut.

Baca Juga : Jejak ‘Ketua Kelas’ di Tambang Ilegal Poboya

Tambang ilegal di Poboya bukan perkara kecil. Aktivitas ini bukan hanya melibatkan warga setempat dengan alat manual, melainkan juga alat berat dan pendanaan besar.

Ratusan unit dump truck diduga dikendalikan oleh pihak yang memiliki jaringan kuat, baik dari segi peralatan maupun distribusi hasil tambang.

Material yang dikeruk dari perut bumi itu kemudian dialirkan ke puluhan kolam rendaman emas yang tersebar di beberapa titik.

Kolam-kolam itu memiliki daya tampung beragam, dari skala kecil yang berukuran 1.000 hingga 10.000 daya tampung.

“Semua siap pakai. Tidak ada pengawasan. Ini sudah berjalan lama dan makin agresif sejak empat bulan terakhir,” ujar sumber itu.

Kawasan yang seharusnya berada di bawah konsesi resmi PT Citra Palu Minerals (CPM) justru menjadi ladang bagi penambangan liar.

Aktivitas tambang ini menjadi wajah paling nyata dari praktik PETI di kawasan konsesi milik PT CPM, yang terus berjalan tanpa hambatan.

Aktivitas tambang liar ini semakin masif dalam lima bulan terakhir. Puluhan kolam rendaman di kawasan konsesi PT Citra Palu Minerals (CPM) tetap beroperasi, memproses emas dari aktivitas ilegal yang kian sulit dikendalikan.

“Ini hanya menguntungkan sekelompok orang saja, sementara lingkungan kami yang rusak,” ujar warga tersebut.

Baca Juga : Negara Absen di Tambang Ilegal Poboya

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah pada rilis sebelumnya menilai aktivitas tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum

tambang ilegal Poboya yang sangat terang-terangan. Koordinator JATAM Sulteng, Moh Taufik, menyebut ada kamuflase yang dilakukan oleh pelaku tambang.

“Mereka mengklaim ini tambang rakyat, tapi yang digunakan alat berat. Ini bukan warga biasa, ini difasilitasi oleh modal besar,” katanya.

Menurutnya, aktivitas tambang liar ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya penegakan hukum oleh aparat. Ia menuding aparat pemerintah abai terhadap pelanggaran hukum yang terjadi.

“Kami mendesak agar aparat, khususnya Polda, mengusut pelaku dan pemodal tambang ilegal ini,” ujarnya.

Baca Juga : Jejak Gelap Tambang Emas Poboya

Desakan agar PETI di kawasan konsesi PT CPM segera ditindak pun semakin keras terdengar.

Warga meminta pemerintah mengusut tuntas siapa saja yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini, termasuk pihak yang memodali operasi tambang tersebut.

“Kalau ini dibiarkan, kerusakan lingkungan akan semakin parah, dan masyarakat yang menanggung dampaknya,” kata warga itu.

JATAM mencatat bahwa aktivitas tambang liar di Poboya kerap dibungkus dengan label pertambangan rakyat, meski faktanya praktik di lapangan melibatkan alat-alat berat yang tidak mungkin dioperasikan oleh masyarakat kecil.

“Kami menduga ada cukong di belakang semua ini. Mereka memainkan skema tambang rakyat untuk mengelabui aparat dan masyarakat,” ujar Taufik.

Keberadaan dump truck yang beroperasi setiap hari mempertegas skala industri dari aktivitas tambang liar tersebut.

Truk-truk itu mengangkut material tambang dari titik pengambilan menuju kolam rendaman yang tersebar di berbagai lokasi.

“Ini jelas terorganisir dan melibatkan banyak pihak,” kata Taufik.

Dampak dari aktivitas tambang liar ini bukan sekadar perusakan alam. Ketika hujan deras mengguyur Palu, warga di bawah kawasan tambang khususnya di Talise, Tondo dan Besusu harus bersiap menghadapi banjir.

“Air tidak tertahan lagi, tanah penahan sudah hilang,” ungkap warga.

Lebih jauh, kolam rendaman yang digunakan untuk memproses emas dengan bahan kmia berbahaya jenis sianida juga berisiko mencemari sungai dan sumber air warga. Tidak ada pengelolaan limbah, tidak ada tanggung jawab lingkungan.

“Kalau terus dibiarkan, ini bisa jadi bencana sosial dan ekologis,” ujar Taufik.

Hingga kini, belum ada langkah konkret dari pemerintah daerah maupun kepolisian untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal di Poboya.

Pemerintah seolah memilih diam. Padahal, lokasi PETI berada tidak jauh dari pusat pemerintahan Kota Palu. Ironisnya, yang terjadi justru pembiaran sistematis.

Aktivitas tambang liar di Poboya merupakan potret kerusakan struktural. Di balik kilauan emas, ada konspirasi diam-diam yang terus mengikis bentang alam di Kelurahan Poboya.

Jika dibiarkan, Poboya bukan hanya akan kehilangan hutannya, tapi juga nyawa dari bencana yang sudah di ambang pintu.