Follow TRILOGI untuk mendapatkan informasi terbaru. Klik untuk follow WhatsApp Chanel & Google News
Kematian Situr Wijaya bukan sekadar kabar duka bagi dunia jurnalistik. Ia adalah alarm keras tentang bahaya yang mengintai kebebasan pers dan potensi kriminalitas yang belum terkuak.
Jurnalis yang diketahu mengadvokasi isu agraria ini ditemukan tak bernyawa di kamar Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk, Jakarta, pada Jumat malam, 4 April 2025.
Namun, alih-alih selesai dengan laporan kematian biasa, justru muncul serangkaian fakta yang menebalkan kejanggalan kasus ini.
Dari luka lebam di wajah, pembengkakan di dahi, hingga keterangan simpang siur dari pihak hotel, semua menyisakan satu pertanyaan: apakah benar Situr meninggal secara alami?
Wajah Membiru, Cerita Menggelap
Tubuh Situr ditemukan dalam posisi miring, seperti orang tidur. Foto awal yang dikirim ke istrinya, Selviyanti, tak menampakkan luka atau tanda mencurigakan.
Namun kemudian, setelah jenazah dipindahkan ke RS Duta Indah, terlihat jelas wajahnya membiru, terutama di bagian dahi dan pipi. Ada dugaan kuat bahwa korban mengalami benturan benda tumpul sebelum meninggal.
Tak hanya itu. Foto-foto yang beredar menunjukkan lantai kamar retak dan kacamata korban tergeletak tak jauh dari kepala—berlawanan dari kebiasaan Situr yang selalu menaruh kacamata di tempat aman sebelum tidur.
“Dia selalu rapi, bahkan keset pun tak pernah bergeser,” kenang Selviyanti.
Rekannya, Hidayat, turut memperkuat dugaan misteri kematian ini. “Kalau dia tidur, sepatunya pasti diletakkan rapi. Kalau kamarnya terlihat acak-acakan, itu bukan gaya Situr.”
Laporan Terlambat, Ambulans Kaget
Kejanggalan semakin nyata saat mengetahui bahwa pihak hotel tidak langsung menghubungi polisi ketika menemukan jenazah.
Laporan ke ambulans baru dilakukan keesokan siangnya, hampir 14 jam setelah waktu kematian yang diperkirakan sekitar pukul 22.25 WIB malam sebelumnya.
“Kami menerima permintaan pukul 12.57 siang, dengan alasan pasien ingin dibawa ke RS Ukrida,” ujar sopir ambulans yang enggan disebutkan namanya.
Setibanya di lokasi, mereka mendapati tubuh pria hanya mengenakan boxer, tergeletak di bawah kasur.
Tidak ada upaya pertolongan, tidak ada police line, tidak pula terlihat adanya penyelidikan resmi dari pihak kepolisian saat itu.
Korban langsung dibawa ke RS Duta Indah dan dinyatakan meninggal dengan tubuh sudah membiru.
Handphone Masih Aktif: Siapa yang Memegangnya?
Fakta paling mencengangkan datang dari tiga telepon genggam milik almarhum yang tetap aktif pasca kematian.
Bahkan, Selviyanti menerima kabar duka bukan dari polisi atau rumah sakit, melainkan dari seorang wanita tak dikenal yang meneleponnya menggunakan ponsel Realme milik Situr.
Tak lama, sebuah panggilan video menyusul dari iPhone suaminya.
“Seorang pria dengan jaket dan topi memberi tahu bahwa suami saya sudah meninggal, tapi menolak menunjukkan jenazah secara live,” ujarnya.
Bagi keluarga, ini adalah kejanggalan kasus yang tak bisa diabaikan. Ketiga ponsel itu dikunci dengan sandi berlapis yang bahkan Selviyanti tak tahu. Bagaimana bisa orang asing mengakses dan menggunakan ponsel tersebut?
Penemuan Berkat Jalur Informal
Ironisnya, penemuan jenazah Situr tak terjadi lewat prosedur resmi. Seorang anggota TNI bernama Rafli—sepupu dari tetangga Selviyanti—yang justru berhasil menemukannya di dalam mobil ambulans di parkiran RS Duta Indah.
Rafli, yang sedang bertugas di Jakarta, mencurigai tidak adanya informasi resmi tentang keberadaan jenazah dan memutuskan mencari sendiri.
“Kalau bukan karena dia, mungkin jenazah suami saya tidak akan ditemukan,” ujar Selviyanti, berlinang air mata. Ia pun mempercayakan proses pemulangan jenazah kepada Rafli.
Motif yang Belum Terungkap
Kematian ini seolah berada dalam lorong gelap yang tak punya ujung. Situr diketahui berencana membawa sebuah laporan ke Kejaksaan Agung usai Lebaran.
Dugaan sementara, laporan itu terkait kasus sengketa lahan di Morowali Utara satu isu agraria yang selama dua tahun terakhir ia kawal.
Apakah kematiannya berkaitan dengan dokumen itu? Tidak ada jawaban pasti. Namun bagi kalangan aktivis dan jurnalis yang mengenal Situr, banyak percaya bahwa ini bukan sekadar kematian biasa.
Misteri yang Tak Kunjung Terurai
Misteri kematian Situr Wijaya menjadi semacam lubang hitam dalam ekosistem jurnalistik Indonesia.
Dalam sejarah pers Indonesia, sejumlah jurnalis memang pernah tewas dalam situasi tak wajar dari Udin di Bantul hingga Fuad di Kalimantan. Kini, Situr menambah daftar itu.
Yang lebih menyakitkan, ketika prosedur hukum berjalan lambat, publik justru semakin kehilangan kepercayaan. Saat aparat memilih diam, saat hotel menyembunyikan informasi, saat ponsel almarhum digunakan oleh orang asing, publik bertanya: siapa yang sebenarnya ingin kasus ini ditutup?
Hingga kini, jawaban atas kematian Situr Wijaya masih menggantung. Istrinya terus menunggu, rekan-rekannya terus bertanya, publik terus menuntut. Namun misteri ini tetap gelap.
Kematian Situr Wijaya seharusnya tidak berakhir sebagai angka dalam laporan statistik. Ia adalah simbol dari sebuah perjuangan, dan sekarang menjadi pertaruhan: apakah Indonesia masih bisa menjamin keselamatan para jurnalis yang menyuarakan kebenaran? Jika tidak, maka kita harus bersiap menyaksikan keadilan dikubur bersama para pewarta yang dibungkam dalam senyap.