Jaring Cukong Tambang Ilegal di Poboya | Siapa Dalangnya?
Cukong tambang ilegal itu dijuluki “ketua kelas” oleh warga lingkar tambang Poboya. Ia bukan pejabat, bukan pula kontraktor resmi. Tapi perintahnya ditaati, alat berat dikendalikan, dan kolam rendaman emas berdiri atas modalnya.
Laporan ini ditulis oleh Tim Investigasi Trilogi
Cukong tambang ilegal terus menggerogoti kawasan Poboya, Kota Palu. Di atas lahan milik PT Citra Palu Mineral (CPM), aktivitas tambang liar berjalan terbuka.
Namun, siapa sebenarnya otak di balik jaringan tambang ilegal di Poboya masih menjadi teka-teki.
Baca Juga : Negara Absen di Tambang Ilegal Poboya
Di balik deru ekskavator dan antrean truk pengangkut material, jaringan tambang ilegal di Poboya bekerja nyaris tanpa gangguan.
Di lokasi yang semestinya steril, para pemain Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) menggali emas setiap hari, seolah hukum telah lumpuh di sana.
Nama H.AMR muncul dalam bisik-bisik warga lingkar tambang. Ia disebut sebagai tokoh yang mengendalikan aktivitas PETI di lahan CPM.
“Semua dikendalikan dia yang kendalikan H.AMR. Mulai dari alat berat, pengangkutan material, sampai kolam rendaman emas, itu semua miliknya,” kata seorang sumber di Poboya kepada Trilogi.
H.AMR, seorang pengusaha tambang yang berdomisili di Kota Palu, menjadi figur yang santer dibicarakan.
Ia diduga memodali aktivitas ilegal dan mengatur jalur distribusi hasil tambang ke kolam perendaman.
“Di sini, dia dijuluki ketua kelas. Semua orang tahu siapa yang menguasai tambang ilegal ini,” ujar sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Hasil penelusuran menunjukkan H.AMR diduga memiliki sejumlah kolam rendaman aktif dengan kapasitas bervariasi.
“Kolam rendaman yang besar-besar itu miliknya. Bahan bakunya diambil dari Kijang 30 dan Bapolapo,” kata warga lain di sekitar tambang.
Menurut informasi di lapangan, kolam terbesar mampu menampung hingga 10 ribu daya tampung (DT).
Jaringan tambang ilegal di Poboya bukan kelompok kecil. Mereka terstruktur dan diduga mendapat dukungan dari para pemodal besar.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah menyebut aktivitas PETI di Poboya kembali marak sejak April 2025.
Alat berat beroperasi leluasa di kawasan Kijang 25, Kijang 30 hingga di Bapolapo, wilayah yang tercatat sebagai konsesi PT Citra Palu Mineral.
JATAM mencium adanya pembiaran oleh aparat.
“Kami sudah melaporkan aktivitas ini ke Polresta Palu dan Polda Sulteng, tapi hingga sekarang belum ada tindakan tegas,” ujar Moh Taufik, Koordinator JATAM Sulteng, saat dikutip dari Kabar Sulteng.
Taufik menduga ada keterlibatan oknum aparat dalam melindungi kegiatan tambang emas ilegal tersebut.
Laporan serupa datang dari Yayasan Bumi Hijau Indonesia (YBHI). Mereka menemukan sejumlah alat berat beroperasi di titik-titik penambangan dan kolam perendaman.
YBHI juga mencatat bahwa operator alat berat di lokasi bukan kontraktor resmi, melainkan warga yang terafiliasi dengan cukong tambang illegal.
“Warga yang mengoperasikan alat berat itu bukan bagian dari perusahaan resmi. Mereka bekerja untuk cukong yang memodali aktivitas ilegal ini,” ujar salah satu anggota YBHI yang meninjau langsung lokasi.
Jaringan tambang ilegal di Poboya semakin sulit disentuh karena kuatnya dugaan keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan.
“Ada kelompok besar yang terlibat, termasuk indikasi keterkaitan dengan oknum aparat,” kata Taufik.
Di sisi lain, PT Citra Palu Mineral (CPM) mengaku tidak tinggal diam. Amran Amir, General Manager Eksternal Affairs and Security CPM, mengatakan perusahaan telah melaporkan aktivitas ilegal tersebut secara berkala ke Kementerian ESDM, Polresta Palu, dan Polda Sulteng.
“Kami mengetahui ada pihak ketiga yang beroperasi di wilayah Kontrak Karya CPM. Ini tentu saja mempengaruhi kegiatan kami,” kata Amran saat dihubungi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Menurut Amran, CPM tidak mungkin bekerja sendiri dalam menyelesaikan persoalan PETI di lahan CPM.
Penanganan masalah ini membutuhkan sinergi dengan aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.
“Kami terbuka untuk evaluasi. Semua pihak harus mematuhi aturan yang berlaku,” ujarnya.
Amran menegaskan, pihaknya telah memberikan keterangan kepada aparat. Bahkan, Kepala Teknik Tambang CPM sudah dimintai keterangan oleh Polda Sulteng terkait aktivitas pihak ketiga di wilayah konsesi mereka.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan tambang ilegal tetap beroperasi. Truk pengangkut material masih lalu lalang.
Kolam rendaman masih berproduksi. Dan jaringan tambang ilegal di Poboya tetap bergerak di bawah bayang-bayang hukum yang melemah.
Hingga berita ini diturunkan, media ini terus berupaya mencari pihak-pihak yang terafiliasi ke H.AMR untuk bisa terhubung untuk meminta konfirmasi.
Kasus di Poboya menunjukkan betapa lemahnya tata kelola pertambangan di daerah. Negara absen dalam fungsi pengawasan.
Aparat terkesan impoten, atau malah bermain di belakang layar. Hasilnya, PETI di lahan konsesi CPM berlangsung masif dan tak terkendali.
Jaringan tambang ilegal di Poboya menjadi cermin dari persoalan struktural di sektor sumber daya alam, penguasaan aset oleh segelintir orang yang kebal hukum, dan ketidakberdayaan institusi formal untuk bertindak tegas.
Suara mesin-mesin tambang ilegal di Poboya terus menderu. Suara mereka lebih nyaring daripada hukum yang seharusnya menertibkan.