PALU – Tekanan terhadap PT Citra Palu Minerals (CPM) kembali memuncak. Ratusan warga Poboya yang tergabung dalam komunitas lingkar tambang turun ke jalan pada Kamis (4/12/2025) menuntut perusahaan segera menyetujui penciutan lahan PT CPM demi pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Aksi besar ini menjadi babak terbaru dalam tarik ulur panjang antara masyarakat setempat dan perusahaan tambang pemegang konsesi terbesar di Kota Palu.
Baca Juga : Dedi Askary Desak Gakkum Bongkar Cukong PETI Taopa | “Ada Rantai Persekongkolan Besar” ?
Sejak pagi, massa memenuhi pelataran kantor PT CPM sambil membentangkan spanduk protes, membawa pengeras suara, dan meneriakkan tuntutan agar sebagian konsesi perusahaan dialihkan menjadi ruang legal bagi aktivitas pertambangan rakyat.
Warga menilai skema WPR dan izin pertambangan rakyat (IPR) sudah menjadi kebutuhan mendesak karena banyak masyarakat menggantungkan ekonomi pada tambang tradisional Poboya sejak puluhan tahun lalu.
Baca Juga : Pengawasan Jebol | PETI Taopa Meledak Lagi, Jejak Rente Menguat !
Di tengah kerumunan, koordinator aksi Kusnadi Paputungan yang dilansir dari Jurnalnews menyebut kebijakan perusahaan dinilai makin menjauhkan warga dari sumber penghidupan.
Menurutnya, penciutan lahan konsesi telah dibicarakan dalam berbagai forum, namun tidak pernah mendapat respons konkret dari PT CPM.
“Sejak awal, CPM tidak menunjukkan komitmen membuka ruang bagi warga. Padahal tuntutan kami jelas dan sudah disuarakan berkali-kali,” ujarnya dalam orasi yang disambut riuh massa.
Kusnadi menambahkan, akses masyarakat terhadap area tambang kian terbatas akibat aturan internal perusahaan, membuat banyak pekerja tambang tradisional kehilangan sumber pendapatan.
Baca Juga : Tambang Ilegal Taopa Tak Tersentuh | Jaringan Cukong Diduga Makin Kuat Setelah Operasi Gagal
Ia menegaskan bahwa masyarakat hanya meminta skema pengelolaan legal melalui WPR, bukan mengambil seluruh konsesi perusahaan.
Dari sisi adat, Sekretaris Dewan Adat Poboya Herman menilai akar masalah sebenarnya adalah minimnya realisasi janji perusahaan sejak awal operasi.
Ia menyebut masyarakat adat Poboya memiliki hak historis untuk mengakses sumber daya lokal, sementara perubahan kebijakan pertambangan semestinya memberikan ruang bagi warga melalui mekanisme resmi.
“Yang kami lihat adalah konsesi dikuasai sepenuhnya oleh CPM tanpa memberi ruang bagi komunitas adat,” ungkap Herman.
Di tengah panasnya aksi, tokoh masyarakat Poboya lainnya, Sofyar, memberikan ultimatum keras. Ia menegaskan PT CPM diberi waktu satu minggu untuk menanggapi tuntutan warga.
“Kalau dalam satu minggu tidak ada jawaban, warga siap melakukan aksi lanjutan. Bukan tidak mungkin CPM akan kami minta angkat kaki dari Palu,” tegasnya.
Menurut Sofyar, masyarakat sejatinya ingin menghindari ketegangan. Namun ketidakjelasan sikap perusahaan membuat kesabaran warga semakin menipis.
Ia menyebut aksi lanjutan dapat melibatkan lebih banyak elemen komunitas jika perusahaan tetap tidak membuka dialog.
Meski aksi berlangsung hingga siang hari, manajemen PT CPM tidak menurunkan perwakilan untuk bertemu warga.
Ketiadaan respons ini membuat massa semakin yakin bahwa perusahaan enggan membahas kemungkinan pengurangan konsesi untuk WPR.
Aparat Polresta Palu tampak mengawal demonstrasi dengan ketat guna mencegah potensi gesekan.
Setelah berjam-jam menyuarakan aspirasi, massa membubarkan diri secara tertib namun menegaskan aksi belum berakhir.
Bagi masyarakat Poboya, minggu depan menjadi momentum penting. Jawaban PT CPM akan menentukan apakah ketegangan mereda atau justru memicu mobilisasi massa yang lebih besar.
Warga menyebut perjuangan ini bukan sekadar soal lahan tambang, melainkan tentang akses ekonomi yang selama ini terhambat akibat struktur konsesi perusahaan.
Hingga berita ini diturunkan, PT CPM belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan penciutan lahan PT CPM maupun desakan pembentukan WPR.
Pemerintah daerah diminta turun tangan agar konflik tidak berlarut dan kepastian hukum bagi masyarakat maupun investor di sektor pertambangan tetap terjaga.



