PALUDemonstrasi Tambang Poboya kembali memanas dan mulai berdampak langsung pada aktivitas industri tambang emas di Sulawesi Tengah.

Ratusan warga lingkar tambang memblokade akses utama menuju area produksi setelah tak mendapatkan kepastian dari PT Citra Palu Minerals terkait tuntutan penciutan lahan konsesi dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat Poboya, memicu potensi gangguan operasional perusahaan.

Aksi tersebut merupakan kelanjutan dari ultimatum tujuh hari yang sebelumnya disampaikan warga.

Hingga tenggat waktu berakhir, masyarakat menilai belum ada keputusan konkret dari perusahaan mengenai pengurangan wilayah konsesi agar sebagian area dapat ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat Poboya.

Sejak pukul 14.30 WITA, massa mulai berkumpul di sekitar pertigaan Masjid Poboya.

Setelah menyampaikan orasi singkat, warga bergerak secara konvoi menuju kantor PT CPM yang berjarak sekitar lima kilometer.

Sepanjang perjalanan, massa menyampaikan tuntutan secara bergantian, menekankan pentingnya kepastian hukum dan akses ekonomi bagi masyarakat setempat.

Setibanya di lokasi, demonstrasi berlangsung tertib namun dengan tekanan yang meningkat.

Koordinator lapangan aksi, Kusnadi Paputungan, menyampaikan bahwa masyarakat tidak lagi menginginkan dialog tanpa kejelasan.

Menurutnya, sikap perusahaan yang belum memberikan jawaban resmi dinilai memperpanjang ketidakpastian di tingkat warga.

“Hari ini masyarakat hanya ingin kepastian sikap. Apakah perusahaan bersedia mengajukan penciutan lahan konsesi ke Kementerian ESDM atau tidak. Itu saja,” ujar Kusnadi dalam keterangannya di hadapan massa.

Ia menambahkan, masyarakat lingkar tambang telah lama menunggu respons konkret.

Sejumlah pertemuan sebelumnya disebut belum menghasilkan keputusan yang berpihak pada warga.

Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk meningkatkan tekanan agar tuntutan mereka mendapatkan perhatian serius.

Situasi mulai memanas ketika tidak satu pun perwakilan PT Citra Palu Minerals menemui massa.

Hingga lebih dari dua jam aksi berlangsung, kantor perusahaan tetap tertutup.

Absennya manajemen perusahaan di tengah demonstrasi dinilai warga sebagai sinyal kurangnya komitmen untuk menyelesaikan persoalan secara terbuka.

Sebagai respons, massa kemudian memutuskan melakukan pemblokiran jalan utama menuju kawasan tambang dan pabrik pengolahan.

Aksi pemblokiran dilakukan menggunakan kayu, batu, serta ban bekas.

Langkah ini secara langsung menghentikan arus kendaraan operasional perusahaan yang biasa keluar masuk membawa material tambang.

Warga menyatakan pemblokiran akan terus dilakukan hingga ada kepastian tertulis terkait tuntutan penciutan lahan konsesi.

Menurut mereka, akses jalan yang diblokade merupakan bagian dari lahan leluhur yang selama ini dipinjamkan kepada perusahaan untuk aktivitas produksi.

Tokoh masyarakat dan adat turut hadir memberikan dukungan.

Ketua Adat rumpun Da’a Inde, bersama sejumlah tokoh lainnya, menekankan bahwa konflik tambang Poboya tidak semata persoalan bisnis, melainkan menyangkut hak ulayat dan keberlanjutan hidup masyarakat sekitar.

Para tokoh menilai, penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat Poboya dapat menjadi solusi jangka panjang.

Skema WPR dianggap mampu mengurangi konflik sosial sekaligus memberikan ruang legal bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas pertambangan secara terbatas dan terkontrol.

Dalam orasi yang disampaikan, beberapa tokoh membandingkan kondisi Poboya dengan wilayah lain di Sulawesi Tengah yang telah memperoleh status WPR.

Menurut mereka, kebijakan tersebut terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa menghilangkan peran perusahaan besar.

Sementara itu, warga menyampaikan bahwa kehadiran perusahaan tambang seharusnya sejalan dengan prinsip keadilan sosial.

Mereka menilai, tanpa pengaturan yang adil, aktivitas pertambangan justru berpotensi mempersempit ruang ekonomi masyarakat yang telah lama bergantung pada wilayah tersebut.

Hingga sore hari, massa masih bertahan di sekitar kantor perusahaan dan akses jalan tambang. Sejumlah warga bahkan mulai mendirikan tenda sebagai tanda kesiapan untuk melakukan aksi lanjutan.

Mereka menegaskan tidak akan membuka blokade sebelum ada kepastian resmi dari perusahaan maupun pemerintah.

Sofyan Aswin, salah satu tokoh masyarakat, menyampaikan bahwa warga akan menggelar rapat besar untuk menentukan langkah berikutnya.

Ia menegaskan perjuangan dilakukan demi mempertahankan tanah leluhur dan hak hidup generasi mendatang.

“Kami akan menentukan sikap bersama. Jika tidak ada kejelasan, aksi akan terus berlanjut,” ujarnya.

Hingga berita ini diturunkan, aktivitas produksi tambang masih terhenti akibat pemblokiran akses.

Belum ada keterangan resmi dari manajemen PT Citra Palu Minerals terkait tuntutan warga maupun langkah yang akan diambil perusahaan.

Masyarakat lingkar tambang berharap pemerintah pusat dan daerah segera turun tangan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral didorong untuk memfasilitasi penyelesaian konflik, khususnya terkait penciutan lahan konsesi dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat Poboya.

Bagi warga Poboya, Demonstrasi Tambang Poboya bukan sekadar aksi protes, melainkan upaya menuntut kepastian hukum dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Mereka menilai, tanpa intervensi pemerintah, konflik serupa berpotensi terus berulang dan mengganggu stabilitas sosial maupun aktivitas ekonomi di wilayah tersebut.