Langit di atas Kelurahan Poboya tampak biasa saja, tetapi tanah di bawahnya menyimpan cerita yang jauh dari wajar.
Di tengah rimbun pepohonan dan tebing-tebing terjal, aktivitas tambang liar di Poboya berlangsung nyaris tanpa kendali.
Jaraknya hanya sepuluh kilometer dari Markas Polisi, namun hukum seperti tak berlaku di sini.
Zona merah tambang liar Poboya menjelma menjadi pusat penambangan emas tanpa izin terbesar di Kota Palu.
Jatam Sulteng menilai keberadaan aktivitas tambang liar di Poboya bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga sistematis dan terstruktur dan sudah membentuk pola yang melibatkan pihak-pihak tertentu.
Baca Juga : Jejak Gelap Tambang Emas Poboya
Dalam investigasinya, Jatam menemukan indikasi kuat adanya keterhubungan antara para penambang liar dengan sejumlah oknum aparat dan sejumlah kelompok yang diduga mendapat keuntungan dari bisnis haram ini.
Ironisnya, lokasi tambang berada dalam wilayah konsesi resmi milik PT Citra Palu Mineral (CPM), anak usaha dari raksasa pertambangan PT Bumi Resources.
“Percakapan soal keterlibatan ini bahkan terdengar terdengar lama dan CPM seolah kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri,” ujar Koordinator Jatam Sulteng, Moh. Taufik, yang dikutip dalam pernyataan resminya belum lama ini.
Jatam menuding perusahaan tidak transparan kepada publik soal langkah konkret yang diambil untuk menghentikan aktivitas ilegal ini.
Baca Juga : Jejak ‘Ketua Kelas’ di Tambang Ilegal Poboya
“Mereka membiarkan zona konsesinya dibobol dari dalam,” tambahnya.
Fakta lapangan, aktivitas tambang liar di Poboya tidak sebatas menggali emas. Metode perendaman menggunakan siania (CN) masih digunakan secara luas. Sudah dapat dipastikan akan memberi dampak buruk yang panjang.
“Dampak Sianida di Poboya sudah mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat,” ungkap Taufik.
Jatam Sulteng mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum segera turun ke lapangan.
Menurut Taufik, terlalu lama pembiaran terhadap zona merah tambang liar Poboya menjadi tanda tanya besar.
Baca Juga : Negara Absen di Tambang Ilegal Poboya
“Bukan berarti institusi kepolisian terlibat, tetapi patut dicurigai ada oknum yang bermain dan mengambil keuntungan pribadi,” katanya.
Jatam berencana membawa temuan ini ke Propam Mabes Polri. Mereka mendesak adanya penindakan terukur dan bersih dari konflik kepentingan.
“Sudah waktunya aparat bertindak, bukan berdiam,” ucap Taufik.
Dampak dari aktivitas tambang liar di Poboya tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menimbulkan bahaya kesehatan.
Penggunaan bahan kimia sianida untuk memisahkan emas dari batuan secara ilegal masih marak. Dampak sianida di Poboya mulai dirasakan warga sekitar.
Sungai-sungai akan tercemar, dan warga khawatir air yang mereka konsumsi sudah terkontaminasi.
“Bahan kimia berbahaya yang digunakan dalam proses perendaman itu akan mengendap dan masuk ke rantai makanan. Ini membahayakan generasi mendatang,” ujar Taufik.
Namun hingga kini, tidak ada upaya serius pemerintah untuk menghentikan aktivitas tambang illegal dan peredaran sianida dan mengatasi pencemaran yang ditimbulkan.
Dampak dari pembiaran aktivitas ini tidak kecil. Selain kerugian negara dari emas yang tidak tercatat, lingkungan Poboya juga rusak parah.
Ironisnya, lokasi PETI di Poboya berada dekat dengan markas besar kepolisian yang berjarak hanya 10 kilometer.
Namun, penindakan terhadap tambang emas ilegal di sana seperti jalan di tempat.
“Tak ada alasan untuk membiarkan aktivitas ilegal yang jelas-jelas merugikan negara ini,” kata Taufik. Ia menegaskan, jangan sampai ada proses tebang pilih dalam penegakan hukum.
Mereka juga meminta agar PT CPM bertanggung jawab atas wilayah konsesinya yang kini menjadi sarang tambang liar.
Zona merah tambang liar Poboya kini bukan hanya soal tambang emas. Ia telah menjadi simbol kelumpuhan hukum dan rapuhnya pengawasan negara di hadapan kepentingan bisnis ilegal.
Jika dibiarkan, Poboya akan terus menjadi ladang emas yang menguntungkan segelintir orang, sekaligus racun yang perlahan membunuh warganya.