Puluhan masa aksi mulai bergerak mengkritisi kebijakan pemerintahan (). Pendemo menolak wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Penolakan itu disampaikan oleh Lingkar Studi Aksi dan Indonesia (LS ADI), mewakili suara rakyat Indonesia khususnya .

Selasa pagi 23 Agustus 2022, LS ADI telah menggelar unjuk rasa di sekitar kantor Provinsi . Mereka menyuarakan aspirasi masyarakat menolak terkait wacana Pemerintah pusat untuk menaikan harga BBM bersubsidi yang akan diumumkan pekan depan.

Tolak Kenaikan BBM Bersubsidi
Orasi Korlap , Tolak Kenaikan harga BBM bersubsidi

“Alih-alih menuntaskan masalah BBM bersubsidi agar tepat sasaran, sebaliknya pemerintah justru memperpanjang rantai penderitaan rakyat dengan terus-menerus menaikan harga BBM bersubsidi” ujar Ahmad, kordinator lapangan (Korlap) LS ADI .

Dalam aksi demonstrasi ini, membentangkan spanduk bertuliskan “Tolak Kenaikan Harga BBM dan turunkan “. Dalam aksi itu juga, merinci kenaikan harga BBM di masa rezim , diantaranya Pada tahun 2014 awal kepemimpinan Presiden signifikan termasuk premium dari Rp 6.500 menjadi 8.500 per liter.

Kemudian pada 1 hingga 28 maret tahun 2015 naik lagi, pada tahun 2016 turun kembali dan masuk awal 2017 kembali menaikan harga pertalite, pertamax dan dexlite, masing-masing Rp 300 per liter.

Begitupun 2018 dan 2019 di masa pesta , Menteri menyampaikan, sesuai dengan arahan presiden, keputusan untuk tidak menaikan harga listrik dan BBM ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat.

Sampai pada tahun 2022 ini diketahui bahwasannya presiden akan menaikan harga BBM jenis pertalite dan solar dengan alasan APBN Indonesia sudah tidak kuat mensubsidi BBM jenis pertalite dan solar tersebut.

“Selain menyebut gagal, isu yang disuarakan ini dinilai akan memberatkan perekonomian masyarakat. Di tengah kondisi yang masih belum sepenuhnya pulih, kenaikan harga dirasa akan semakin membelit masyarakat pada situasi sulit” terangnya.

Ahmad juga menyampaikan harusnya Pemerintah sebagai pemegang utama energi yang kepemilikannya 100% dimiliki oleh Negara melalui mampu menjamin Kesejahteraan Rakyatnya sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan .

Apabila melihat kondisi Negara saat ini, kata Ahmad, Pemerintah seharusnya mempertimbangkan beberapa hal terkait kenaikan Harga BBM. Dimana alasan kenaikan BBM akan berpengaruh pada pengelolaan APBN.

Hal ini, menurut dia, merupakan tanggung jawab pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan guna menjamin penyelenggaraan kesejahteran tetap terjaga.

“Jika harga jual pertalite tembus Rp 10.000 per liter, kontribusi terhadap inflasi diperkirakan mencapai 0,9% sehingga inflasi tahun berjalan dikhawatirkan bisa mencapai 6,2%. Dengan inflasi sebesar itu akan memperpuruk daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga akan menurunkan pertumbuhhan yang sudah mencapai 5,4%” terangnya.

Mestinya lanjut Ahmad pemerintah fokus pada pembatasan BBM bersubsidi yang sekitar 60% penyaluran tidak tepat sasaran. MYpertamina tidak akan efektif membatasi konsumsi BBM agar tepat sasaran, bahkan menimbulkan ketidakadilan bagi yang berhak menggunakan BBM subsidi sebab masih banyak masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki fasilitas itu.

“Pepres Nomor 69 Tahun 2021 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM dalam Pasal 14 ayat (8) dijelaskan bahwa menteri dapat menetapkan harga jual eceran jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan berbeda dengan perhitungan dengan mempertimbangkan salah satunya adalah kemampuan daya beli masyarakat atau riil dan masyarakat” ungkapnya.

“Olehnya, melalui ini kami Lingkar Studi Aksi dan Indonesia, mewakili suara rakyat Indonesia khususnya yang risau akibat wacana kenaikan harga BBM ini menegaskan menolak kenaikan harga BBM” tegasnya.