Follow TRILOGI untuk mendapatkan informasi terbaru. Klik untuk follow WhatsApp Chanel & Google News

Lebam di wajah jenazah Situr Wijaya seperti membuka lembar pertama dari kisah yang lebih gelap. Jurnalis yang belakangan diketahu mengungkap konflik agraria di Morowali Utara itu ditemukan tak bernyawa di kamar hotel Jakarta Barat, awal April lalu.

Bukan hanya posisinya yang mencurigakan terlentang dengan tubuh dingin dan luka di dahi tapi juga jejak kematian tiga orang lain yang terhubung langsung dengannya dalam advokasi lahan.

Semua meninggal mendadak, dalam rentang waktu berdekatan, dan dalam situasi serupa: sunyi, tanpa saksi, dan disimpulkan cepat sebagai “wajar”. Empat kematian, satu pola. Apakah ini kebetulan, atau ada yang sengaja menutup suara mereka?

Kasus Situr Wijaya kembali mengundang perhatian publik. Jurnalis yang belakangan aktif mengadvokasi dalam mengungkap konflik agraria ini ditemukan tak bernyawa di kamar Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk.

Kejanggalan dalam kondisi jenazah, termasuk lebam di wajah jenazah, menimbulkan berbagai spekulasi di balik kematian yang hingga kini belum terungkap penyebab pastinya.

Situr Wijaya, atau yang akrab disapa Situr, merupakan jurnalis media online yang berdomisili di Kota Palu yang selama dua tahun terakhir aktif mendampingi warga di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Ia turut serta dalam advokasi non litigasi bersama aktivis LSM dan praktisi hukum untuk mengawal kasus-kasus sengketa lahan yang melibatkan masyarakat dan perusahaan besar.

Pendampingan ini bahkan meluas hingga pelaporan ke tingkat nasional, termasuk Kementerian ATR/BPN dan Kejaksaan Agung.

Kematian Situr yang tiba-tiba di Jakarta menjadi sorotan karena sejumlah kejanggalan yang terungkap.

Foto-foto jenazah yang diterima keluarga menunjukkan adanya lebam di wajah jenazah serta pori-pori membesar di dahi yang diduga akibat benturan benda tumpul.

Temuan ini menimbulkan dugaan awal bahwa penyebab kematian jurnalis tersebut tidak alami.

“Ketika melihat foto jenazah, kami langsung curiga. Ada luka lebam yang tidak wajar. Kami minta agar dilakukan investigasi kematian jurnalis ini secara menyeluruh dan transparan,” ujar Selviyanti, istri almarhum Situr Wijaya, melalui keterangan resminya yang diterima Trilogi.

Selviyanti juga mengungkap bahwa rencana keberangkatan suaminya ke Jakarta bukan semata untuk mudik ke Yogyakarta menjenguk ibunya.

“Dia sempat bilang, ada laporan penting yang akan diserahkan ke kementerian. Tapi saya tak tahu pasti kepada siapa,” katanya.

Yang membuat kasus Situr Wijaya semakin mencurigakan adalah kematian mendadak tiga rekannya yang sebelumnya juga aktif dalam advokasi konflik lahan di Morowali Utara.

Ketiganya masing-masing berinisial AL, TM, dan HH. Mereka memiliki peran berbeda, mulai dari penghubung di Jakarta hingga pendukung logistik.

AL, rekan lama SW yang juga berlatar belakang jurnalis, ditemukan meninggal mendadak di hotel saat hendak bepergian dari Jakarta ke Surabaya pada 29 Oktober 2024.

Ia disebut meninggal karena serangan jantung. Namun, SW sendiri pernah meragukan kepergian mendadak rekannya itu.

“Waktu AL meninggal, Situr sempat bilang ke saya bahwa dia mencurigai kematiannya,” ujar DY, salah satu sahabat dekat Situr Wijaya.

TM, aktivis dari sebuah LSM yang juga turut mengadvokasi sengketa lahan di Morowali Utara, dilaporkan meninggal akibat serangan jantung.

HH, sosok di balik dukungan dana keberangkatan SW ke Jakarta, dikabarkan meninggal sekitar sebulan sebelum TM.

Menurut pengakuan seorang kolega SW berinisial HR, HH sempat mengirim dana lebih dari Rp100 juta sebagai biaya operasional advokasi.

Kasus Situr Wijaya tidak hanya membuka luka bagi keluarga dan rekan sejawat, tetapi juga memperkuat tuntutan atas perlindungan terhadap jurnalis yang bekerja di wilayah rawan konflik.

Pihak kepolisian saat ini menyatakan masih menunggu hasil lengkap pemeriksaan toksikologi dan histopatologi untuk menentukan penyebab kematian.

Namun hingga kini, hasil tersebut belum dipublikasikan. Kepolisian Polda Metro Jaya menegaskan bahwa proses investigasi kematian jurnalis tersebut akan dilakukan secara menyeluruh.

Meski demikian, pihak keluarga dan aktivis HAM mendesak adanya investigasi independen terhadap kasus ini.

Mereka khawatir, kematian Situr dan ketiga rekannya merupakan bagian dari upaya sistematis untuk membungkam advokasi agraria di daerah yang sedang mengalami tekanan dari ekspansi industri.

Kematian jurnalis seperti Situr Wijaya menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat peningkatan tekanan terhadap jurnalis yang meliput isu-isu sensitif, termasuk lingkungan, pertambangan, dan agraria.

Kasus Situr Wijaya kini menjadi simbol perjuangan jurnalis akar rumput yang berani berdiri di garis depan konflik struktural.

Di tengah misteri kematiannya, satu hal yang pasti: kerja-kerja jurnalistik dan advokasi yang ia lakukan telah menyalakan api perlawanan bagi masyarakat yang selama ini tak memiliki suara.

Dengan lebam di wajah jenazah dan jejak rekam keberanian dalam mengungkap ketimpangan, Situr Wijaya meninggalkan pesan penting bagi dunia pers: bahwa kebenaran kadang memiliki harga yang mahal.

Penyelidikan masih berjalan. Jawaban atas kematian Situr Wijaya dan tiga rekannya belum terkuak.

Namun, tekanan untuk mengungkap kebenaran makin besar, seiring dengan meningkatnya tuntutan terhadap investigasi kematian jurnalis secara tuntas dan transparan.