Jejak Sawit PT RAS seolah hilang di meja penyidik. Perkara dihentikan karena dianggap minim bukti, padahal di lapangan tersisa jejak perambahan hutan, tumpang tindih izin, hingga kerugian negara miliaran rupiah.
Penghentian perkara dugaan pelanggaran hukum oleh PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS) menimbulkan istilah Tabola-bale dan tanda tanya besar.
Di satu sisi, penyidik menyatakan kasus tidak perlu dilanjutkan karena dianggap minim bukti.
Namun, di sisi lain, jejak sawit PT RAS justru memperlihatkan praktik yang berpotensi melanggar hukum, menimbulkan kerugian negara, hingga menggerus hutan negara.
Kisruh lahan sawit di Morowali berawal pada Februari 1999, saat Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan Izin Lokasi seluas 28.200 hektare untuk PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV).
Perusahaan pelat merah ini menanam sekitar 35.000 pohon kelapa sawit di lahan tersebut.
Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) baru keluar pada 2009 dengan luas total 6.000 hektare lebih, terbagi ke dalam dua sertifikat.
Namun, tujuh tahun sebelum terbitnya HGU itu, tepatnya 2006, Pemerintah daerah Morowali mengeluarkan Izin Lokasi untuk PT RAS seluas 21.289 hektare.
Izin tersebut terbit tanpa rekomendasi teknis BPN, dan ironisnya, tumpang tindih dengan lahan PTPN XIV.
Sejak itu, PT RAS menebangi sawit milik BUMN dan mengoperasikan kebun tanpa membayar sewa.
Kerugian investasi yang ditanggung PTPN XIV pada periode 1997–2006 ditaksir Rp12 miliar.
Aktivitas PT RAS berlanjut hingga 2023. Mereka memanen sawit di atas lahan HGU PTPN XIV tanpa kompensasi sewa.
Berdasarkan aturan Kementerian Keuangan, nilai sewa yang semestinya dibayarkan mencapai Rp79,4 miliar.
Negara juga kehilangan manfaat ekonomi Rp6,6 miliar per tahun sejak 2009 akibat lahan HGU yang tak bisa dimanfaatkan PTPN XIV.
Tak berhenti pada tumpang tindih izin, jejak sawit PT RAS juga menembus kawasan hutan. Perusahaan ini mengelola 6.110 hektare hutan tanpa izin resmi.
Praktik itu melanggar Undang-Undang Kehutanan dan menghilangkan potensi penerimaan negara dari dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, hingga denda eksploitasi ilegal.
Kerugian bukan hanya finansial. Deforestasi akibat ekspansi kebun sawit RAS mengancam ekosistem, menghilangkan tutupan hutan, dan memperlemah fungsi lingkungan hidup.
Jejak ini seharusnya menjadi pintu masuk penyidik untuk mengusut tindak pidana kehutanan.
Sengketa Lahan PTPN XIV vs PT RAS Berdasarkan Data Pemberitaan
- Tumpang Tindih Izin
- PTPN XIV memiliki Izin Lokasi BPN (1999) seluas 28.200 ha dan HGU (2009).
- Tahun 2006, Pemda Morowali menerbitkan Izin Lokasi 21.289 ha kepada PT RAS tanpa pertimbangan BPN.
- Potensi pelanggaran: UU Agraria terkait penerbitan izin tumpang tindih.
- Bukti: Dokumen Izin Lokasi BPN, HGU No. 02 & 08 (2009), SK Bupati Morowali (2006).
- Perusakan Aset Negara
- PT RAS menebang 35.000 pohon sawit milik PTPN XIV (1997–2006).
- Potensi pelanggaran: Perusakan aset negara / Tindak Pidana Korupsi (TPK).
- Bukti: Data inventarisasi PTPN XIV, laporan kerugian Rp 12 miliar.
- Panen dan Pemanfaatan Lahan Ilegal
- PT RAS memanen sawit di lahan HGU PTPN XIV sejak 2008–2023 tanpa membayar sewa ± Rp 79,4 miliar.
- Potensi pelanggaran: Penggelapan hasil perkebunan, perbuatan melawan hukum, dan kerugian keuangan negara.
- Bukti: Catatan produksi sawit PT RAS, perhitungan PMK 33/PMK.06/2012, laporan audit keuangan.
- Pengelolaan Lahan HGU secara Ilegal
- PT RAS mengelola 1.329 ha dari HGU PTPN XIV.
- Potensi pelanggaran: Perampasan aset negara / TPK.
- Bukti: Peta HGU dan overlay izin lokasi PT RAS.
- Perambahan Kawasan Hutan
- PT RAS masuk kawasan hutan seluas 6.110 ha tanpa izin sejak 2006.
- Potensi pelanggaran: Perambahan hutan dan tindak pidana kehutanan.
- Bukti: Citra satelit, data KLHK, laporan lapangan.
- Kerugian Negara Berlapis
- Negara kehilangan manfaat ekonomi Rp 6,6 miliar/tahun sejak 2009 karena PTPN XIV tidak bisa memanfaatkan lahan HGU sesuai fungsi.
- Bukti: Data proyeksi produksi & finansial PTPN XIV.
- Potensi Aliran Dana Ilegal ke Induk Perusahaan
- Audit Kejati Sulteng (Nov 2024) fokus pada TPK & TPPU Astra Group.
- Bukti: Pemanggilan Dirkeu AAL, eks Direktur, Manager Komersial, Kepala TU RAS.
- Maladministrasi Perizinan
- PT RAS hanya memiliki Izin Lokasi (2006) dan IUP (2007) tanpa rekomendasi teknis BPN atau izin kehutanan.
- Potensi pelanggaran: Maladministrasi perizinan dan dugaan kolusi pejabat daerah.
- Bukti: SK Izin Lokasi No. 188.45/SK.0909/UMUM/2006, SK IUP 525.26/0478/UMUM/2007.
Dari data ditas, paling tidak ada 5 pintu masuk hukum untuk membongkar :
- TPK Agraria → penerbitan izin ganda oleh Pemerintah daerah.
- TPK Kehutanan → penggunaan 6.110 ha kawasan hutan tanpa izin.
- Perusakan aset negara → penebangan 35.000 pohon sawit.
- Kerugian negara → Rp 79,4 miliar + Rp 12 miliar investasi + Rp 6,6 miliar/tahun manfaat hilang.
- TPPU → dugaan aliran dana ilegal ke Astra Group.
Kontradiksi mencolok terlihat dari sikap penyidik yang menyebut kasus ini tidak cukup bukti pidana.
Padahal, laporan awal Kejaksaan justru menyinggung adanya indikasi praktik tumpang tindih izin, perambahan hutan, dan pengelolaan lahan tanpa izin yang menimbulkan kerugian negara.
Dokumen yang diperoleh menunjukkan PT RAS hanya mengantongi Izin Lokasi tahun 2006 dan Izin Usaha Perkebunan 2007.
Keduanya diterbitkan pemerintah daerah tanpa memperhitungkan aturan teknis BPN maupun izin kehutanan. Sementara itu, PTPN XIV sudah memiliki dasar hukum yang lebih kuat berupa HGU.
Dalam catatan Trilogi, setidaknya ada lima pintu masuk hukum, penerbitan izin ganda, penggunaan kawasan hutan tanpa izin, perusakan aset negara berupa 35.000 pohon sawit, kerugian keuangan negara yang ditaksir lebih dari Rp90 miliar, serta dugaan aliran dana ilegal yang berpotensi tindak pidana pencucian uang.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah sempat menyatakan penanganan kasus ini masih berjalan.
Kejati Bambang Hariyanto ketika itu menyebut sejumlah pihak telah dipanggil dan menunjukkan iktikad mengembalikan kerugian negara.
Namun, di tengah proses itu, muncul kabar penghentian perkara dengan alasan minim bukti.
Langkah ini kian janggal ketika penyidikan justru melebar ke induk usaha PT RAS, yakni PT Astra Agro Lestari (AAL).
Pada November 2024, penyidik mendalami dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Dua petinggi dipanggil, termasuk Direktur Keuangan berinisial TS dan mantan Direktur RP. Pemeriksaan juga menyasar pejabat kunci lain yang mengelola perkebunan RAS sejak 2006.
“Penyidikan terus dilakukan untuk memastikan semua pihak yang bertanggung jawab dapat diadili,” kata Bambang ketika. Pernyataan ini bertolak belakang dengan kabar penghentian perkara di level operasional PT RAS.
Kisruh lahan antara PTPN XIV dan PT RAS memperlihatkan lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola izin perkebunan.
Pemerintah daerah Morowali saat itu mengeluarkan izin tumpang tindih tanpa rekomendasi teknis BPN.
Celah inilah yang dimanfaatkan perusahaan swasta untuk menguasai lahan negara.
Kontradiksi semakin jelas, di satu sisi, penyidik menutup perkara dengan alasan minim bukti.
Di sisi lain, jejak sawit PT RAS memperlihatkan pelanggaran berlapis, mulai dari tumpang tindih izin, perusakan aset BUMN, penggunaan kawasan hutan tanpa izin, hingga potensi kerugian negara lebih dari Rp90 miliar.
Kasus ini menjadi cermin bagaimana hukum sering tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Jejak sawit PT RAS bukan sekadar konflik lahan, tetapi rangkaian praktik yang menyingkap rapuhnya tata kelola perkebunan, kerentanan regulasi, dan ancaman kerugian negara yang belum sepenuhnya diungkap ke publik.