Guru Tua Diakui

Habib Idrus bin Salim Aljufri, yang dikenal sebagai Guru Tua, telah resmi diakui sebagai Warga Negara Indonesia oleh Pemerintah Indonesia.

Pengumuman resmi ini akan diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Senin, 29 Juli 2024 mendatang.

Baca Juga : Terkuak! Kisah Mengharukan Meninggalnya Nabi Muhammad SAW pada 8 Juni yang Jarang Diketahui

Pengakuan kewarganegaraan ini adalah tonggak sejarah yang penting, mengingat status kewarganegaraan Guru Tua selama ini menjadi hambatan dalam proses pengajuan gelar Pahlawan Nasional. Cucu Guru Tua, Habib Ali bin Muhammad Aljufri, mengonfirmasi berita tersebut dengan penuh rasa syukur.

“Iya, Alhamdulillah Habib Idrus diakui sebagai Warga Negara Indonesia oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Habib Ali, dalam siaran persnya yang dibagi kepada sejumlah jurnalis di Palu.

Guru Tua, atau Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (SIS Aljufrie), adalah ulama yang dihormati dan berjasa besar, terutama dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam.

Baca Juga : 6 Rukun Wudhu yang Wajib Diperhatikan Sebagai Syarat Sah Sholat

Pengaruhnya tidak hanya terasa di Sulawesi Tengah, tetapi juga di seluruh Indonesia. Alkhairaat, lembaga pendidikan yang didirikannya, menjadi warisan yang terus bersinar hingga kini.

Kehadiran Guru Tua di Indonesia bermula saat ia mengunjungi kerabatnya di Pulau Jawa dan Sulawesi. Pada kunjungan pertamanya di usia 19 tahun, ia belum memutuskan untuk bermukim.

Namun, pada kunjungan keduanya pada tahun 1922, Guru Tua memutuskan untuk menetap di Jawa. Perjalanan spiritual dan edukasionalnya dimulai dari Batavia (sekarang Jakarta), lalu berpindah ke Jombang, Jawa Timur pada tahun 1926, di mana ia bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Baca Juga : Perbedaan Haji dan Umrah dalam Islam

Pada tahun 1929, Guru Tua melanjutkan perjalanan ke Sulawesi Tengah dan setahun kemudian, pada 14 Muharram 1349 Hijriyah atau 11 Juni 1930, ia mendirikan Madrasah Alkhairaat di Palu.

Masa pendudukan Jepang (1942-1945) sempat menghambat aktivitas Alkhairaat, tetapi semangat Guru Tua tidak padam. Ia mengubah metode pembelajaran dari rumah ke rumah dan bahkan sempat hijrah ke Kampung Pewunu di Sigi.

Di sana, Guru Tua bertemu dengan Yoto Daeng Pawindu, saudara iparnya dan seorang tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), yang membantu mendirikan sekolah darurat di rumahnya. Dalam kondisi terancam oleh Jepang, semangat pendidikan tetap membara di kalangan mereka.

Baca Juga : Apa Itu Akil Baligh, Makna, Tanda-Tanda, dan Dalilnya

Dengan pengakuan resmi sebagai Warga Negara Indonesia, peluang Guru Tua untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional semakin terbuka lebar. Usulan ini sudah lama diajukan sejak masa jabatan Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju, namun hingga kini gelar tersebut belum diberikan.

Namun, negara telah mengakui kontribusi besar Guru Tua dengan menyematkan Gelar Bintang Mahaputera pada tahun 2010 melalui Keputusan Presiden No. 53/TK/Tahun 2010. Penghargaan ini diberikan kepada individu yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Indonesia.

Kehadiran Guru Tua di Indonesia bukan sekadar sejarah, tetapi juga inspirasi bagi generasi saat ini dan mendatang. Pengakuan status kewarganegaraan ini adalah langkah penting dalam mengabadikan jasa-jasanya dan memperkuat upaya untuk memberikan penghargaan tertinggi sebagai Pahlawan Nasional.

Pengakuan resmi ini bukan hanya memberikan keadilan sejarah, tetapi juga menunjukkan apresiasi atas dedikasi dan pengorbanan seorang ulama besar dalam membangun dan memajukan pendidikan serta dakwah Islam di Indonesia. Guru Tua diakui sebagai Warga Negara Indonesia, membawa harapan bahwa perjuangannya akan diabadikan sebagai bagian integral dari sejarah bangsa.

Dengan pengakuan ini, diharapkan seluruh pihak dapat terus mendukung dan mendorong proses pengajuan gelar Pahlawan Nasional bagi Guru Tua, sehingga jasa-jasanya diakui secara resmi dan menjadi teladan bagi generasi penerus.