Lahir dari seorang ayah tekhnokrat. Cudi sudah bisa jadi asisten guru untuk mata pelajaran aljabar, sejak belia. Semasa SMU ia selalu Ketua kelas. Guru yang suka menunjuknya ketua kelas adalah B Lawira. Ayah kandung, Ketua Tim Pemenangan Cudi Ma’mun, Nilam Sari Lawira.

Ini peristiwa yang punya dasar genealogis. Suatu masa dimana tokoh sekelas B Lawira telah melihat Cudi kecil sebagai seorang pemimpin. Dan kini, di tangan dingin seorang Jenderal Politik Perempuan, Nilam Sari Lawira, mendeklair mimpi historis itu.

Barangkali ini disebut edisi jalan-jalannya. Sejarah meletakan sebuah embrio yang pada babak-babak berlalu, berliku terjal, dan pun kini meyakinkan.

“Cudi adalah Gubernur yang kita inginkan. Kita membutuhkan pemimpin yang berani, cerdas dan bertanggung jawab,” ujar Nilam Sari Lawira.

Jalan untuk mempertegas impian ini adalah mengikuti alur pemilu. Datang dan menempatkan Cudi sebagai sebuah solusi yang diharapkan.

Nilam tahu, bahwa tantangan zaman dalam era peralihan masa menuju millenium keempat ini. Sulteng butuh sentuhan pengalaman, dan pemimpin yang memahami masa depan.

Segayung sambut mimpi itu diikuti dengan dengung kekuatan dari energi para militan Cudi-Ma’mun. Pemimpin yang ideal bagi Sulawesi Tengah adalah yang punya karakter pendobrak.

Cudi memenuhi semua pra syarat yang menjadi tuntutan publik. Sehingga tidak heran kalau hingga detik ini, deklarasi dukungan mengalir bak banjir bandang. Hanya dalam 7 hari, lebih dari 50 kali tatap muka sejak penetapan dilakukan.

Kinerja itu menempatkan Cudi sebagai pemimpin yang paling diharapkan.

***

*Cudi Diserang Politik Identitas*

Seorang filsuf Eropa pernah berujar,” rasisme itu ibarat makan daging saudara,”. Demikianlah kondisi yang sedang melanda lawan tarung Cudi-Ma’mun. Tidak banyak peluang rebound. Pilihannya, hanya dengan mobilisasi identitas.

Identitas yang digunakan sebagai publik isyu adalah bentangan usia. Perbandingan usia dipilih dan dimobilisasi pada level publik untuk mengejar ceruk suara.

Mungkin mereka berharap dengan membangun negativisme figur dengan mengulik usia Rusdy Mastura, akan melahirkan sikap ragu-ragu dan memberi peluang untuk masuk dengan isu tampang.

Mengapa demikian? Sebab tidak mungkin memilih jalur gagasan. Memilih gagasan itu sama dengan menunjuk hidung “Bapak Pengusung dan Penderma Partai”. Bagaimana tidak, ia telah mewanti-wanti kandidatnya.

“Jangan bikin program yang tinggi-tinggi. Jangan kayak kubu sebelah yang program halu,” ujarnya.

Ini semacam peringatan bagi sang kandidat untuk tidak keluar dari track status quo. Tugas sebagai pelanjut harus tetap tidak boleh lebih unggul dari status quo.

Dan ini membuat situasi tim sebelah terjebak dalam habitus lama. Wajah baru kekuasaan lama. Tidak ada aspek kebaruan yang bisa ditawarkan selain bentuk wajah yang lebih muda dari segi usia.

Ini problem, walaupun wajah baru tetapi tidak menawarkan gagasan. Mereka terjebak dalam konsep berkarat yang berisi:

1. Pendapatan asli daerah yang rendah
2. Penanganan pasca bencana yang tidak beres
3. Jumlah kemiskinan yang tinggi
4. Jumlah stunting yang tinggi
5. Serta infrastruktur yang separuhnya dalam kondisi mengenaskan.

Dan yang peling ngeri, mereka tidak bisa mencegah pendukungnya memobilisasi identitas yang menjebak timnya dalam *perilaku rasis*. Bahkan kadang-kadang sudah terkesan menghina fisik.

Sayangnya, Bawaslu tidak melihat mobilisasi isu lewat identitas usia sebagai bahaya demokrasi. Padahal PKPU melarang dengan tegas penggunaan isu identitas sebagai tema kampanye.

Jebakan ini menempatkan kandidat sebelah tidak menemukan momentum untuk rebound. Mereka terjebak dalam alur kampanye yang mengarah pada sikap bulying.

Sebaliknya, sampai di sini, rakyat semakin mengerti, bahwa kandidat sebelah tidak memiliki kapasitas yang dapat ditawarkan selain mengikuti perintah “Bapak Pengusung”. Hantam kromo.

***
Dua Jari Salam Kemenangan

Bukannya kendor. Mobilisasi isu usia tidak membuat militan Cudi-Ma’mun melempem. Isu usia justru menjadi basis kekuatan yang dibuktikan dengan meningkatnya jumlah tatap muka dan sebaran kampanye Cudi-Ma’mun.

Militan Cudi-Ma’mun sadar, bahwa Sulteng tidak membutuhkan pemimpin yang hanya mampu bersolek. Sulteng harus keluar dari jebakan kepura-puraan. Menempatkan pembangunan untuk semua sebagai bingkai paradigmatik.

Tidak terjebak habitus identitas. Militan Cudi-Ma’mun justru semakin kreatif menawarkan gagasan-gagasan Cudi-Ma’mun yang otentik.

Ibarat kata, lawan politik tidak menemukan celah keunggulan dari Cudi-Ma’mun. Sehingga, sejauh jalan menuju Sulteng Maju dan Sejahtera, rakyat hanya melihat peluang itu dalam pasangan Nomor Urut 2.

Pasangan Cudi-Ma’mun bukan hanya pemimpin untuk semua. Tetapi adalah harapan yang membentang sepanjang hamparan padi di Parigi Moutong, samudera khatulistiwa, dan ketinggian Nokilalaki.