Buol – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, terus berlangsung dan menunjukkan skala operasi yang semakin besar.
Puluhan alat berat jenis excavator dilaporkan beroperasi di sejumlah desa, mengeruk material tanah yang diduga mengandung emas tanpa izin resmi dari negara.

Salah satu titik utama berada di kawasan PETI Gunung Bugu, tepatnya di wilayah Tambang ilegal Desa Kwalabesar, Kecamatan Palele.
Di lokasi ini, sekitar 20 unit excavator bekerja hampir tanpa jeda. Aktivitas Tambang emas ilegal Palele tersebut tidak hanya mengubah bentang alam perbukitan, tetapi juga menandakan besarnya nilai ekonomi yang diperebutkan dari komoditas emas.
Praktik Tambang Emas Ilegal di Buol juga terpantau di wilayah lain. Di Tambang emas ilegal Desa Bodi, Kecamatan Paleleh Barat, sekitar lima unit excavator dilaporkan aktif beroperasi.
Sementara di Tambang ilegal Desa Busak, Kecamatan Karamat, jumlah alat berat yang bekerja bahkan mencapai belasan unit.
Jika ditotal, lebih dari 35 excavator diduga terlibat dalam aktivitas PETI di berbagai lokasi.
Dengan biaya sewa alat berat yang mencapai puluhan juta rupiah per unit per bulan, belum termasuk bahan bakar dan logistik pekerja, nilai ekonomi dari tambang ilegal ini diperkirakan sangat besar.
Namun, seluruh aktivitas tersebut berlangsung di luar sistem perizinan dan tanpa kontribusi penerimaan negara, baik melalui pajak maupun royalti.
Warga setempat menyebut aktivitas tambang ilegal kini berlangsung terbuka. Alat berat keluar-masuk desa melalui jalan umum, sementara pasokan bahan bakar dan kebutuhan operasional lainnya berjalan rutin.
“Kalau mau lihat excavator, tinggal datang saja. Semua orang tahu,” ujar seorang warga Desa Kwalabesar yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Selain potensi kerugian negara, PETI juga menimbulkan dampak ekonomi lanjutan di tingkat lokal.
Kerusakan jalan desa akibat lalu-lalang alat berat menambah beban biaya perbaikan infrastruktur, sementara pencemaran sungai mengancam sumber air bersih dan mata pencaharian warga.
Sejumlah pegiat lingkungan di Buol menilai pembiaran PETI berpotensi menciptakan beban fiskal di masa depan.
Biaya pemulihan lingkungan, rehabilitasi hutan, hingga penanganan dampak sosial dinilai akan jauh lebih besar dibandingkan nilai ekonomi jangka pendek yang dihasilkan tambang ilegal.
Besarnya skala operasi juga memunculkan pertanyaan terkait pihak pemodal di balik aktivitas PETI tersebut.
“Kalau tidak ada yang membekingi, mustahil alat berat sebanyak itu bisa bekerja lama,” ujar seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.
Hingga berita ini diturunkan, Kapolres Buol AKBP Irwan, SH, MH, M.Tr.Opsla belum memberikan tanggapan terkait konfirmasi aktivitas PETI di wilayah hukum Polres Buol.
Padahal, praktik PETI jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur ancaman pidana dan denda bagi pelaku tambang tanpa izin.
Masyarakat berharap aparat penegak hukum dan instansi terkait tidak hanya menghentikan aktivitas di lapangan, tetapi juga menelusuri alur pendanaan serta kepemilikan alat berat.
Tanpa penegakan hukum yang menyentuh aktor utama, praktik PETI dinilai akan terus menggerus sumber daya alam dan potensi penerimaan negara.



