Sulawesi Tengah – Tarik-ulur pengusutan kasus korupsi sawit PT RAS bak api yang dikipas lalu dipadamkan. Kejati Sulawesi Tengah telah memeriksa puluhan saksi tapi masih menari ditempat.

Panas dingin penyelidikan justru memperkuat dugaan adanya intervensi politik dan bisnis di balik perkara agraria terbesar di Sulawesi Tengah.

Kasus Korupsi Sawit PT Rimbunan Alam Sentosa

Kasus dugaan korupsi sawit PT Rimbunan Alam Sentosa (PT RAS), anak perusahaan PT Astra Agro Lestari, kembali jadi perhatian setelah fakum lama. Lebih dari satu dekade perusahaan ini dituding menguasai lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV tanpa izin.

Namun, hingga kini publik hanya menyaksikan drama tarik-ulur penanganan perkara di meja penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng).

Koalisi Rakyat Anti Korupsi (KRAK) Sulawesi Tengah menilai langkah Kejati penuh ketidakjelasan. Sekretaris KRAK, Abdul Salam, menuding Kejati “mempermainkan waktu” dengan tidak kunjung menetapkan tersangka.

Padahal, kata dia, secara kasat mata kerugian negara kasus PT RAS sudah di depan mata, sementara penyidikan berjalan panas-dingin tanpa kepastian hukum.

“Kejati Sulteng harus berhenti mempermainkan waktu. Publik menunggu langkah tegas, bukan tarik-ulur tanpa ujung,” ujar Abdul Salam kepada Trilogi.

Kejati Sulteng memegang kendali penuh dalam penyilidikan kasus ini. Beberapa kali pemeriksaan telah digelar, mulai dari mantan direktur PT RAS hingga petinggi PT Astra Agro Lestari.

Sejumlah alat berat bahkan sudah disita penyidik. Namun, hingga hari ini, belum ada penetapan tersangka.

Situasi ini menimbulkan tanda tanya publik. “Kejati Sulteng periksa kasus lahan sawit” memang benar adanya, tetapi hasilnya tak kunjung jelas.

Bagi KRAK, sikap tarik-ulur justru memperkuat dugaan adanya kompromi politik maupun bisnis di balik kasus yang merugikan negara hingga Rp 79,4 miliar itu.

“Jika penyidik tidak transparan, kepercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum bisa runtuh,” kata Abdul Salam.

Ia menegaskan, peran Kejati dalam kasus korupsi ini akan menjadi ukuran sejauh mana kejaksaan berani menghadapi perusahaan raksasa.

Berdasarkan catatan resmi, PT RAS diduga memanen kelapa sawit di atas lahan negara sejak 2008. HGU yang sah dimiliki PTPN XIV dikuasai secara sepihak tanpa pembayaran sewa.

Nilai kerugian negara kasus PT RAS mencapai Rp 79,4 miliar, belum termasuk potensi kerusakan lingkungan dari perambahan kawasan hutan seluas ribuan hektare.

Lebih dari itu, keuntungan yang diperoleh PT RAS diduga mengalir ke induk perusahaan, PT Astra Agro Lestari. Dugaan praktik pencucian uang pun menyeruak.

Namun, proses hukum berjalan lamban, seolah-olah raksasa perkebunan sawit itu kebal dari jerat hukum.

KRAK menegaskan, perkara ini bukan sekadar hitungan angka kerugian negara. Ia menyangkut tata kelola agraria yang carut-marut, rusaknya lingkungan hidup, hingga wibawa hukum yang tergerus oleh kepentingan korporasi besar.

KRAK Sulawesi Tengah mendesak Kejaksaan Agung turun tangan mengawal proses penyidikan. Mereka khawatir Kejati Sulteng tidak mampu atau tidak berani membawa kasus ini ke meja hijau.

“Publik tidak butuh basa-basi. Yang dibutuhkan keberanian menetapkan tersangka dan membawa kasus ini ke pengadilan. Jika Kejati Sulteng gagal, kami akan menggalang desakan agar kasus ditarik ke pusat,” tegas Abdul Salam.

Pernyataan keras itu mencerminkan kekecewaan publik terhadap lambannya penegakan hukum. Kasus korupsi sawit PT RAS, yang sejak awal dipandang sebagai salah satu skandal agraria terbesar di Sulawesi Tengah, kini menjadi ujian integritas bagi lembaga kejaksaan.

Dalam beberapa bulan terakhir, Kejati Sulteng memeriksa sejumlah saksi penting. Mulai dari mantan direktur PT RAS, pejabat PTPN XIV, hingga petinggi PT Astra Agro Lestari. Nama-nama besar seperti Direktur Operasional PT AAL, Arief Catur Irawan, dan Kepala Divisi Finance Holding, Daniel Paolo Gultom, sudah dipanggil.

Namun, pemeriksaan maraton itu tidak melahirkan hasil konkret. Publik menunggu, siapa yang bertanggung jawab atas operasi ilegal PT RAS di lahan negara? Siapa yang menikmati keuntungan dari hasil panen kelapa sawit yang ditanam tanpa izin? Pertanyaan itu hingga kini belum mendapat jawaban dari Kejati.

KRAK menilai penanganan perkara berjalan tidak konsisten. Kadang digarap serius dengan pemanggilan saksi, kadang meredup tanpa perkembangan berarti. Pola inilah yang mereka sebut “panas dingin.”

Padahal, fakta hukum sudah terang. PT RAS terbukti menebang dan memanen sawit di lahan HGU PTPN XIV tanpa izin, menyebabkan potensi besar kerugian negara miliaran rupiah.

Peran Kejati dalam kasus korupsi ini seharusnya memastikan proses hukum berjalan tuntas, bukan justru membuat publik kehilangan harapan.

Kasus PT RAS menyingkap wajah buram tata kelola perkebunan di Indonesia: tumpang tindih izin, lemahnya pengawasan, dan dominasi korporasi raksasa yang seakan kebal hukum.

Kini, semua mata tertuju pada Kejati Sulteng. Apakah lembaga ini berani menuntaskan kasus korupsi sawit PT RAS hingga meja hijau, atau justru membiarkannya berlarut-larut di meja penyidikan?

Abdul Salam menutup pernyataannya dengan ancaman tegas: “Jika Kejati Sulteng tidak berani, maka gerakan masyarakat sipil akan membawa perkara ini ke tingkat nasional. Hukum tidak boleh tunduk pada korporasi.”

Kasus korupsi sawit PT RAS masih bergulir. Panas-dingin penanganannya menjadi potret betapa hukum bisa melemah di hadapan kekuatan modal.

Publik kini menunggu: apakah keadilan akan lahir di Sulawesi Tengah, atau justru tenggelam bersama kepentingan bisnis raksasa sawit?