PALU – PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) akhirnya angkat bicara menepis keraguan publik ihwal Legalitas PT Kurnia Luwuk Sejati di Morowali Utara.
Perusahaan yang telah beroperasi hampir tiga dekade itu menegaskan seluruh aktivitasnya berada dalam koridor hukum dan mematuhi regulasi perkebunan sejak masuk pertama kali ke wilayah tersebut pada 1997.
Baca Juga : Kontribusi Pajak PT Kurnia Luwuk Sejati Melejit | Ekonomi Morowali Utara Ikut Terdongkrak
Penegasan tersebut disampaikan oleh dua petinggi perusahaan, Direktur PT KLS Sulianti Murad dan Asisten Direktur Ferdinand Magaline, di tengah memanasnya isu Konflik agraria PT KLS, terutama menyangkut Sengketa lahan Mamosalato dan Sengketa lahan Bungku Utara yang menyeret nama perusahaan ke sejumlah forum mediasi, termasuk Mediasi Satgas PKA Sulteng yang berlangsung 10 Desember 2025.
Sulianti Murad menegaskan bahwa Legalitas PT KLS telah lengkap sejak awal perusahaan masuk dengan skema pengembangan kebun inti plasma di kawasan PT KLS Morowali Utara.
“Seluruh kegiatan kami berjalan berdasarkan hukum. Kami hanya meminta perlindungan dan kepastian usaha. Investasi tidak bisa tumbuh jika ada gangguan dari pihak yang tidak memiliki dasar hak,” ujar Sulianti menjawab konfirmasi media ini.
Ia mengungkapkan, hubungan perusahaan dengan masyarakat di tiga desa operasional, Taronggo, Posangke, dan Tokala Atas selama ini terjalin harmonis.
Menurutnya, gesekan justru datang dari pihak yang tidak memiliki hubungan langsung dengan wilayah pengelolaan perusahaan.
Perusahaan juga menekankan kontribusinya selama hampir tiga dekade, mulai dari penyerapan tenaga kerja lokal hingga setoran pajak PPN, PPh, serta PBB.
Pembelian TBS (tandan buah segar) dari petani plasma bahkan mencapai sekitar Rp5 miliar per bulan, sebuah aliran ekonomi yang dinilai perusahaan sangat nyata dirasakan masyarakat.
Dalam polemik yang berkembang, sejumlah pihak mempertanyakan Perizinan PT KLS, terutama terkait PPKPR PT KLS, keterdaftaran di OSS PT KLS, hingga status HGU PT KLS. Menjawab polemic itu, Ferdinand memberikan penjelasan lebih rinci.
Menurutnya, perusahaan sudah beroperasi jauh sebelum OSS dan ketentuan PKKPR diberlakukan, sehingga izin yang digunakan sejak 1997 mengacu pada kerangka hukum saat itu, termasuk Izin lokasi PT KLS yang diterbitkan Kantor Pertanahan Poso dan diperbarui oleh Pemkab Morowali pada 2013.
“Kami memiliki izin lokasi, rekomendasi kesesuaian rencana makro perkebunan dari Pemprov Sulteng tahun 2015, serta dokumen pembelian lahan resmi seperti SKPT, SPT, dan sertifikat hak milik,” jelas Ferdinand.
Ia menegaskan, proses migrasi perizinan ke OSS tengah berlangsung di Dinas Perizinan Morowali Utara.
Adapun soal HGU, Ferdinand menyebut penguasaan lahan perusahaan berasal dari pembelian langsung dari masyarakat sejak 1997, bukan melalui pola pengajuan HGU baru.
Karena itu, perusahaan menyatakan siap menyampaikan seluruh dokumen yang dibutuhkan kepada Satgas sebelum batas waktu 19 Desember 2025.
Pertemuan resmi di Balai Desa Baturube pada 10 Desember 2025 mempertemukan perwakilan perusahaan dengan Satgas, OPD Provinsi Sulteng, OPD Kabupaten Morowali Utara, hingga perwakilan kepolisian dan TNI.
Di forum tersebut, beberapa warga menuntut PT KLS menghentikan aktivitas. Namun Ferdinand menegaskan bahwa kelompok itu bukan berasal dari tiga desa operasional perusahaan.
“Warga yang menyuarakan penolakan bukan bagian dari masyarakat yang selama ini bekerja sama dengan perusahaan. Di desa operasional, hubungan kami tetap baik,” ujarnya.
Perusahaan juga membantah tuduhan intimidasi kepada warga. Ferdinand menekankan bahwa kehadiran aparat keamanan justru untuk mencegah kekacauan setelah sebelumnya terjadi perusakan kantor kebun dan TBS perusahaan.
“Kami yang justru sering mendapat intimidasi. Aset kami beberapa kali dirusak,” tegasnya.
Dalam mediasi, Satgas PKA menyoroti beberapa temuan OPD teknis mengenai PKKPR PT KLS, keterdaftaran di OSS PT KLS, serta tidak ditemukannya permohonan HGU PT KLS di Kantor Pertanahan Morowali Utara.
Pemerintah juga memaparkan bahwa sebagian kawasan yang diklaim perusahaan berada dalam wilayah transmigrasi bersertifikat sejak 1982–1983.
Menanggapi hal tersebut, PT KLS mengambil posisi kooperatif dan menyambut instruksi Satgas untuk menghadirkan seluruh dokumen pembelian serta perizinan.
“Kami siap duduk bersama. Semua pihak yang mengklaim lahan sebaiknya juga membawa dokumen resmi agar perbandingan dilakukan secara objektif,” kata Ferdinand.
Ia mempertanyakan mengapa klaim lahan baru bermunculan pada 2025.
“Perusahaan sudah di sini sejak 1997. Jika memang ada hak masyarakat yang diambil, tentu persoalannya muncul sejak lama. Ini penting untuk dijernihkan.”
PT KLS menegaskan bahwa persoalan yang terjadi saat ini tidak hanya soal sengketa lahan, tetapi juga menyangkut kepastian hukum bagi investor lokal yang telah berkontribusi puluhan tahun.
Sulianti menekankan perlunya dukungan pemerintah daerah maupun aparat keamanan untuk memastikan iklim usaha tetap kondusif.
“Yang kami butuhkan hanya kenyamanan berusaha. Investasi tidak akan berkembang jika terus diganggu oknum yang tidak memiliki dasar klaim,” jelasnya.
Perusahaan menilai, jika ketidakpastian hukum dibiarkan, dampaknya terasa bukan hanya bagi korporasi, tetapi jauh lebih luas terhadap petani plasma, karyawan, dan roda ekonomi desa.
PT KLS menyebut dinamika yang terjadi sebagai bagian dari Konflik agraria PT Kurnia Luwuk Sejati yang muncul akibat klaim sepihak tanpa bukti kuat.
Perusahaan meminta agar proses penyelesaian dilakukan dengan cara yang terukur, berbasis data, dan mengikuti mekanisme hukum.
“Kami tidak pernah mengambil lahan milik warga. Kami menghormati hak masyarakat, dan kami juga berharap hak kami dihormati,” tegas Ferdinand.
Sebaliknya, perusahaan menyoroti adanya pihak yang berupaya mengambil keuntungan dengan “cara yang tidak benar”.
Meskipun demikian, PT KLS menyatakan tetap terbuka terhadap dialog, termasuk dalam agenda peninjauan lapangan bersama yang dilaksanakan Satgas pada 11 Desember 2025.
Menutup pernyataannya, PT KLS menyampaikan harapan agar hubungan yang selama ini terjalin baik dengan masyarakat Mamosalato dan Bungku Utara dapat kembali pulih.
“Selama hampir tiga dekade, kami hidup berdampingan. Kami tidak ingin konflik ini dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujar Ferdinand.
Perusahaan juga meminta pemerintah memberikan kepastian regulasi, terutama terkait Perizinan PT KLS, pengurusan dokumen tata ruang, dan harmonisasi aturan baru seperti PKKPR serta migrasi ke OSS.
Kontribusi ekonomi dari sektor sawit lokal seperti yang dijalankan PT KLS dinilai perusahaan masih sangat penting bagi Sulawesi Tengah. Tanpa iklim usaha yang stabil, potensi daerah ikut terhambat.
“Komitmen kami tetap sama sejak 1997, hadir, berinvestasi, dan tumbuh bersama masyarakat,” kata Sulianti.
Dengan seluruh proses klarifikasi, mediasi, dan peninjauan dokumen berjalan, PT KLS berharap penyelesaian bisa ditemukan secara elegan, adil, dan menghormati aturan yang berlaku.



