PALU – Aktivitas PETI Taopa dikabarkan melonjak pasca, Operasi Gakkum. Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedi Askary, menilai lemahnya pengawasan dan dugaan keterlibatan oknum membuat praktik ilegal ini terus tumbuh tanpa kendali.
Lonjakan Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah Taopa, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, dinilai sebagai sinyal kuat bahwa terdapat persoalan mendasar dalam tata kelola pertambangan dan penegakan hukum di daerah.

Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah sekaligus aktivis lingkungan, Dedi Askary, mengungkap bahwa meningkatnya praktik PETI Taopa pasca-Operasi Gakkum merupakan bukti nyata lemahnya sistem pengawasan. Ia menyebut para cukong kembali leluasa membuka tambang setelah aparat menyelesaikan operasi di lapangan.
“Fakta bahwa aktivitas PETI semakin masif setelah penertiban menunjukkan adanya masalah serius dalam pengawasan. Pengawasan tidak dilakukan berkelanjutan sehingga para cukong dengan mudah kembali beroperasi,” tegasnya, kepada media Senin Kamis 27 November 2025.
Menurut Dedi, salah satu akar persoalan yang membuat PETI Taopa sulit diberantas adalah dugaan keterlibatan oknum di berbagai tingkatan.
Ia menilai bahwa praktik ini tidak hanya terjadi pada oknum lapangan, melainkan mencerminkan pola yang bersifat struktural.
“Ada dugaan keterlibatan oknum. Mereka bukan hanya melindungi aktivitas ilegal ini, tetapi juga ikut menikmati rente dari kegiatan tersebut,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti ringannya sanksi hukum bagi pelaku PETI. Dedi menilai penindakan yang tidak memberikan efek jera membuka ruang terjadinya pola abusive law-making, yaitu praktik penggunaan hukum secara berulang untuk tujuan pengendalian, namun dengan mengesampingkan partisipasi publik dan transparansi.
“Sanksi ringan bukan soal kebetulan. Dalam kasus PETI Taopa, penegakan hukum acap kali berlangsung sepotong-sepotong, melibatkan lintas sektor APH, tetapi tetap saja tidak efektif,” katanya.
Faktor ekonomi juga berperan besar. Harga emas yang tinggi dan minimnya lapangan pekerjaan membuat masyarakat mudah tergiur terlibat dalam aktivitas ilegal tersebut.
“Situasi ekonomi menjadi salah satu alasan kenapa PETI terus berkembang,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai kritik bahwa penegakan hukum di Taopa hanya menyasar operator alat berat, Dedi menyebut kritik itu sangat wajar.
Ia menilai pola penindakan terhadap ilegal mining di Indonesia, termasuk PETI Taopa sudah lama terjebak dalam mata rantai persekongkolan.
“Pola penegakan hukum seperti ini tidak efektif. Yang ditangkap hanyalah operator atau pekerja kecil yang sebenarnya diperalat oleh pemodal. Sementara cukong atau pihak yang menikmati rente justru tidak tersentuh,” ujar Dedi.
Ia menilai bahwa investigasi yang dilakukan aparat kerap bersifat dangkal dan tidak masuk akal.
Penyidikan yang seharusnya menelusuri jejaring PETI justru berhenti pada pelaku lapangan.
“Investigasi yang lemah ini bisa disengaja. Banyak keterkaitan para pihak dalam sindikat PETI yang tidak diungkap. Padahal, kegiatan tersebut sudah masuk kategori perbuatan ecocida,” tegasnya.
Dedi menekankan bahwa untuk memberantas PETI Taopa secara tuntas, aparat perlu mengubah pendekatan.
Menurutnya, langkah pertama adalah melakukan investigasi mendalam yang memetakan aliran dana, jaringan cukong, hingga dugaan keterlibatan oknum aparat jika ditemukan terlibat.
“Investigasi mendalam adalah kunci. Selain itu, Undang-Undang TPPU perlu diterapkan agar aset para cukong bisa disita,” ujarnya.
Ia juga mendorong kerja sama komprehensif antara Gakkum KLHK, kepolisian, PPATK, serta lembaga terkait lainnya.
Tanpa kolaborasi, menurutnya pemberantasan PETI Taopa tidak akan efektif.
Dedi menilai, Gakkum KLHK dan kepolisian harus segera melakukan operasi gabungan skala besar untuk menghentikan maraknya PETI.
Selain operasi lapangan, perlu ada operasi siber untuk menelusuri komunikasi elektronik antar aktor, termasuk yang diduga melibatkan sesame oknum aparat.
“Penindakan tanpa pandang bulu sangat penting. Semua pihak yang terlibat harus ditindak, termasuk oknum pemerintah daerah,” katanya.
Ia menambahkan bahwa proses penindakan harus transparan dan akuntabel, serta melibatkan masyarakat agar pengawasan berjalan efektif.
Dari sisi kerugian negara, Dedi menegaskan bahwa PETI Taopa telah menciptakan dampak ekonomi yang sangat besar.
Mulai dari hilangnya potensi pajak dan royalti, hingga biaya pemulihan lingkungan yang menurutnya “sangat besar”.
Kerusakan ekosistem disebut semakin parah akibat pembukaan lahan, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kondisi ini membuat PETI masuk kategori kejahatan lingkungan serius.
“PETI adalah ancaman ekologis. Kerusakan yang terjadi sudah sangat luas dan berdampak lintas generasi,” ujarnya.
Dari sisi sosial, PETI juga memicu konflik lahan, kriminalitas, hingga risiko keselamatan kerja.
Selain itu, PETI menyebabkan ketimpangan sosial yang semakin tajam.
Ia menyebut kondisi ini sebagai proses pembongkaran lanskap sosial dan kultural masyarakat Taopa secara sistematis.
“PETI bukan hanya mengambil tanah, tetapi menghapus memori dan makna hidup komunitas adat. Ini luka ekologis dan kultural yang diwariskan lintas generasi,” pungkasnya.



