SULTENG – Gugatan Rp200 miliar saat Mentan gugat Tempo memicu KKJ Sulteng mengeluarkan warning keras bahwa langkah hukum tersebut berpotensi mempersempit ruang kritik dan melemahkan daya tahan demokrasi.

Dalam sebuah forum diskusi publik yang digelar Komite Keselamatan Jurnalis Sulawesi Tengah (KKJ Sulteng) di Palu, Kamis malam (13/11/2025), para narasumber menilai Gugatan Rp200 miliar Tempo bukan sekadar perkara hukum antara pejabat negara dan media, melainkan sinyal mengkhawatirkan terhadap ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Diskusi bertajuk “Ketika Kuasa Menggugat Media: Membaca Dampak Gugatan Rp200 Miliar terhadap Tempo” itu menghadirkan pengacara publik, jurnalis senior, akademisi, serta aparat penegak hukum.

Para pembicara sepakat bahwa langkah hukum Menteri Pertanian Amran Sulaiman memiliki implikasi jauh lebih luas dibanding nilai gugatannya.

Pengacara Publik Moh. Taufik menyebut gugatan tersebut berpotensi menciptakan “efek gentar” yang dapat membatasi keberanian publik mengkritik kebijakan negara.

Menurutnya, persoalan ini bukan semata soal sengketa pemberitaan, tetapi menyangkut hak dasar warga negara untuk berpartisipasi dalam demokrasi.

“Ancaman dalam gugatan ini bukan hanya diarahkan kepada jurnalis, namun juga kepada masyarakat yang ingin mengkritik kebijakan negara. Ini masalah serius bagi kebebasan berpendapat sebagai pilar demokrasi,” kata Taufik.

Ia menegaskan bahwa kebebasan pers telah dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Undang-undang tersebut dirancang sebagai instrumen perlindungan agar pers dapat menjalankan fungsi pengawasan tanpa tekanan dari kekuasaan.

Taufik mengingatkan bahwa dalam sengketa pers, mekanisme penyelesaian harus melalui Dewan Pers sebagai lex specialis.

Karena itu, secara hukum sengketa tersebut tak semestinya langsung dibawa ke pengadilan perdata maupun pidana.

Jurnalis foto senior Sulteng, Basri Marzuki, menilai bahwa persoalan Gugatan Rp200 miliar Tempo tidak semata soal nominal fantastis, tetapi menyentuh aspek fundamental mengenai etik profesi dan independensi media.

“Tempo sudah menjalankan mekanisme Penilaian dan Rekomendasi di Dewan Pers. Ketika proses itu sudah dilalui namun gugatan tetap dilanjutkan, publik bisa membaca bahwa ada indikasi upaya membungkam pers,” kata Basri.

Ia menambahkan bahwa kritik merupakan bagian dari hak publik untuk mengetahui fakta.

Bila kritik direspons dengan gugatan bernilai besar, maka pesan yang ditangkap media jelas: risiko finansial mengintai setiap liputan kritis.

Ketua AMSI Sulteng Moh. Iqbal menyebut gugatan tersebut memiliki kemiripan dengan praktik Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu gugatan bernilai besar untuk membungkam kritik.

“Gugatan sebesar itu tidak hanya menghantam media besar, tetapi juga menakut-nakuti media independen yang tidak memiliki modal likuid cukup. Lama-lama mereka membatasi diri sendiri demi menghindari risiko digugat,” ujarnya.

Menurut Iqbal, bila gugatan seperti ini dibiarkan, dalam jangka panjang daya kritis media akan melemah.

Akibatnya, fungsi pers sebagai “watchdog” demokrasi semakin hilang.

Perwakilan masyarakat sipil, Richard Labiro, melihat gugatan tersebut sebagai sinyal adanya upaya mengontrol narasi publik.

Ia menyebut kasus itu bukan lagi soal metodologi jurnalistik atau validitas data, namun soal ketidaksenangan elit ketika informasi sensitif terungkap.

“Inilah bentuk pembungkaman suara publik. Negara seolah ingin mengatur wacana, menentukan mana narasi yang boleh dan tidak boleh dibahas,” ujar Richard.

Ia menilai bahwa nilai gugatan yang sangat besar merupakan cara halus untuk menekan ruang partisipasi publik.

Menurutnya, dampak gugatan Mentan terhadap kebebasan pers bukan hanya terasa di ruang redaksi, tetapi merembes hingga ke masyarakat yang bergantung pada informasi dari media.

Ketua AJI Palu, Agung Sumandjaya, menyebut gugatan itu sebagai bentuk “pembredelan gaya baru”.

Ia menilai bahwa bila nilai gugatan lebih besar dari modal operasional suatu media, maka sulit untuk tidak melihatnya sebagai upaya membangkrutkan.

“Jika pers yang disebut pilar keempat demokrasi saja bisa dibungkam, bagaimana dengan kelompok masyarakat sipil yang tidak punya perlindungan seluas media?” ujarnya.

Agung juga menyoroti praktik pemanggilan jurnalis sebagai saksi dalam kasus UU ITE terkait karya jurnalistik.

Menurutnya, hal ini mengganggu psikologis jurnalis dan menjadi ancaman baru yang membayangi kerja-kerja liputan di daerah.

Kasubdit II Siber Polda Sulteng Kompol Alfian yang hadir sebagai narasumber menegaskan dukungan kepolisian terhadap kemerdekaan pers, namun mengingatkan agar jurnalis tetap mematuhi kode etik.

“Pers tetap harus berada dalam koridor Undang-Undang Pers dan kode etik. Setiap laporan yang berkaitan dengan pers akan kami koordinasikan dengan Dewan Pers untuk menentukan ranah penyelesaian,” ujar Alfian.

Ia menyebut koordinasi tersebut penting agar tidak terjadi salah langkah dalam penegakan hukum.

Diskusi yang berlangsung di Graha Pena Radar Palu itu dihadiri ratusan peserta dari berbagai organisasi pers, mahasiswa, dan kelompok sipil.

KKJ Sulteng, yang terdiri dari AJI Palu, AMSI Sulteng, IJTI Sulteng, PFI Palu, PWI Sulteng, serta jaringan lembaga sipil seperti Jatam, LBH Apik dan LPS-HAM, menegaskan bahwa gugatan terhadap Tempo adalah alarm keras bagi seluruh ekosistem media.

Melalui diskusi ini, KKJ Sulteng menekankan bahwa serangan terhadap satu media adalah serangan terhadap keseluruhan ruang kebebasan berekspresi di Indonesia.