Sulteng – Konflik agraria PT ANA Morowali Utara hingga kini masih membayangi warga dan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Agro Nusa Abadi (ANA).
Meski sejumlah kesepakatan sudah dicapai sejak 2023, penyelesaian sengketa lahan di lima desa belum kunjung terealisasi sepenuhnya.
Gubernur Sulawesi Tengah diminta turun tangan dengan langkah tegas, termasuk melakukan uji tuntas dan audit menyeluruh terhadap operasional perusahaan.
Persoalan ini bermula dari tumpang tindih legalitas HGU vs izin lokasi perusahaan sawit ANA yang menjadi sumber klaim lahan warga.
Pada pertengahan 2023 hingga 2024, pemerintah daerah, PT ANA, masyarakat, pekerja, dan koperasi telah menjalani serangkaian mediasi.
Hasilnya, lahir kesepakatan pelepasan sebagian lahan di lima desa, yang sebelumnya diverifikasi dan reverifikasi secara berjenjang melalui dokumen desa, data sejak 2016, hingga kesaksian warga dan aparat setempat.
Adapun lahan yang disepakati untuk dilepas berada di Desa Bunta seluas 282,74 hektare dari total 806,75 hektare, Desa Bungintimbe 659 hektare dari total 964 hektare, Desa Towara 266 hektare dari total 510 hektare, Desa Tompira 208,74 hektare dari total 291,93 hektare, dan Desa Molino 225,95 hektare dari total 291,9 hektare.
Lahan tersebut berada di luar kebun plasma yang dikelola perusahaan.
Namun hingga kini, kesepakatan tersebut belum dijalankan secara penuh.
Situasi di lapangan justru semakin kompleks, dipicu keterlibatan spekulan tanah, aksi pengambilan buah sawit secara ilegal, hingga kriminalisasi petani di areal konsesi ANA.
Kondisi ini memperburuk ketegangan sosial di wilayah Morowali Utara.
Melakui siaran pers Jumat 12 September 2025, Mantan Komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, menegaskan bahwa dasar penyelesaian konflik sudah jelas.
Ia mendesak Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, segera membentuk tim khusus dengan target penyelesaian dalam waktu sebulan.
Menurutnya, audit menyeluruh terhadap perkebunan PT ANA menjadi langkah krusial untuk memastikan penyelesaian konflik tidak berlarut-larut.