Follow TRILOGI untuk mendapatkan informasi terbaru. Klik untuk follow WhatsApp Chanel & Google News
Di tengah lautan informasi yang terus mengalir deras, kebenaran semakin terpinggirkan. Di sinilah posisi “Media and Peace Forum” muncul, sebuah inisiatif dari Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) untuk mencoba meredam kekacauan yang disebabkan oleh distorsi informasi yang merajalela.
Namun, di era di mana media sosial dan pemberitaan global kerap kali lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi, seberapa efektifkah forum ini menyelamatkan kebenaran dari jurang kebohongan yang semakin dalam ?.
Teguh Santosa, Ketua Umum JMSI, dalam sambutanya mengungkapkan, “Di era post-truth ini, kebenaran lebih sering ditentukan oleh keyakinan pribadi, bukan oleh fakta”. Di mana lagi kita bisa menemukan kebenaran jika media yang seharusnya menjadi sumber utama justru ikut memperkeruh keadaan ? .
Melalui forum ini, Teguh berharap dapat membuka ruang bagi diskusi yang lebih objektif dan mencegah distorsi informasi yang sering kali menyesatkan publik.
Diskusi yang berlangsung kali ini fokus pada Korea Utara, sebuah negara yang sering kali disalahartikan di mata dunia.
Dari pemberitaan media massa hingga media sosial, informasi mengenai negara komunis ini sering kali terdistorsi.
“Saya sudah belasan kali ke Korea Utara, dan saya yakin banyak sekali informasi yang tidak akurat beredar,” kata Teguh. Lantas,
Teguh, yang menulis disertasi tentang konflik di Semenanjung Korea, dengan tegas menyatakan bahwa berita tentang Korea Utara yang beredar di Indonesia didominasi oleh narasi yang dibentuk oleh kepentingan negara-negara Barat.
Informasi yang datang dari media Barat sering kali lebih banyak mencerminkan pandangan politik mereka ketimbang kenyataan di lapangan.
Alvin Dwiana Qobulsyah, seorang produser di SEA Today, mempertegas hal ini dengan mengatakan “Ketiadaan tim liputan Indonesia di Korea Utara membuat kita hanya bergantung pada perspektif asing, yang seringkali salah kaprah.” Dan apa yang lebih berbahaya dari itu? Masyarakat Indonesia, tanpa sadar, terjebak dalam putaran propaganda yang terbentuk tanpa mereka ketahui.
Teuku Rezasyah, Direktur Grup Studi Juche Indonesia (GSJI), menambahkan bahwa ideologi Juche yang dianut oleh Korea Utara sering disalahartikan.
“Kemandirian Korea Utara bukan berarti isolasi atau ketertutupan, melainkan sebuah upaya untuk mempertahankan identitas bangsa di tengah arus globalisasi yang sering merugikan negara-negara kecil,” jelasnya.
Tapi apakah forum ini benar-benar bisa meredakan distorsi informasi yang beredar luas? Teguh Santosa mengakui tantangan besar yang dihadapi dalam usaha untuk menanggulangi hoax dan disinformasi.
“Forum ini hanya akan menjadi sebuah clearing house untuk informasi, tetapi pengaruh media sosial yang begitu kuat sulit untuk dihadang dengan cara konvensional,” tuturnya.
Meskipun begitu, harapannya jelas: “Media and Peace Forum” menjadi wadah untuk menggali kebenaran di tengah pusaran informasi yang sering terdistorsi.
Bicara soal distorsi informasi, tidak ada yang lebih relevan dari fenomena Korea Utara yang selalu menjadi korban hoax dan misinformasi.
Di sinilah letak ironi terbesar: di saat dunia semakin canggih dalam menyebarkan informasi, kita malah semakin jauh dari kebenaran yang sesungguhnya.
Dan, dalam kekalutan ini, JMSI dan forum ini muncul sebagai secercah harapan. Tapi, apakah harapan itu cukup besar untuk menghadapi lautan informasi yang semakin sulit dibedakan antara yang nyata dan yang palsu?
Forum ini membuka peluang diskusi yang penting, namun perlu diingat bahwa dunia yang dikuasai oleh media sosial bukan tempat yang mudah untuk menggenggam kebenaran.
Sebuah pekerjaan rumah yang tak mudah, apalagi jika didasarkan pada fakta bahwa informasi sudah terlalu jauh terdistorsi.