SIGI – Air tak lagi mengalir dari pipa-pipa di kawasan transmigrasi Bulupountu, Kecamatan Sigi Biromaru, Sulawesi Tengah. Sejak empat bulan setelah peresmian, sumur bor yang dibangun untuk mengatasi krisis air bersih Bulupountu berhenti berfungsi.
Warga kembali mengantre air tangki, menampung hujan, atau berjalan jauh mencari sumber air.
Proyek sumur air tanah Bulupountu yang menelan dana Rp 1,35 miliar itu semula digadang menjadi solusi permanen bagi wilayah yang dikenal rawan kekeringan.
Namun, kenyataan di lapangan berkata lain, manfaatnya hanya terasa sesaat.

“Awalnya kami senang, air keluar lancar. Tapi tak lama, tiba-tiba berhenti. Sejak itu sampai sekarang kami beli air dari mobil tangki atau tunggu hujan,” kata seorang warga transmigrasi yang ditemui media ini dilokasi belum lama ini.
Berdasarkan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) mencatat, proyek ini dilelang dengan nama Pembangunan Sumur Air Tanah untuk Air Baku Kec. Sigi Biromaru Kab. Sigi; Prov. Sulawesi Tengah 1 Unit; 0,002 m³/detik; F; K; SYC, dengan pagu dan HPS Rp 1,35 miliar.
Pemenang lelang adalah CV Karya Tirta Utama, perusahaan asal Bandung, Jawa Barat, dengan penawaran terkoreksi Rp 1,118 miliar.
Pekerjaan berada di bawah tanggung jawab SNVT Air Tanah dan Air Baku BWSS III Palu, Kementerian Pekerjaan Umum. Sejak awal, proyek ini diharapkan menjawab kebutuhan mendesak air bersih Bulupountu.
Namun, catatan di lapangan menunjukkan ada dugaan perencanaan dan studi kelayakan yang tidak matang.
Spesifikasi teknis, kedalaman pengeboran, kapasitas debit, sistem pompa, sumber tenaga, hingga jaringan distribusi, disebut tidak sesuai realisasi di lapangan.
Perbedaan itu bisa memengaruhi umur pakai dan kualitas air yang dihasilkan.
Sejak beroperasi hingga berhenti, sumur hanya sekali mendapat perbaikan dan itu pun tidak tuntas. Akibatnya, fasilitas vital ini lumpuh total.
Warga kehilangan akses air bersih, sementara proyek yang menelan miliaran rupiah kini tinggal kenangan beton dan pipa yang kering.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab? Apakah kontraktor yang mengerjakan, pihak yang mengawasi, atau pejabat yang menyetujui spesifikasi?.
Kasatker SNVT Air Tanah dan Air Baku BWSS III Palu, Elieser Palantik, tidak menjawab pertanyaan wartawan saat dimintai konfirmasi.
Diamnya pejabat yang memegang kendali proyek ini semakin menebalkan tudingan minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana negara.
Salah seorang pengamat kebijakan publik di Palu yang meminta identitasnya tidak di publis menilai, proyek dengan nilai kontrak miliaran rupiah seharusnya disertai mekanisme pemeliharaan dan pengawasan ketat.
“Ini contoh buruk perencanaan infrastruktur. Bangunan ada, anggaran habis, tapi fungsi tidak berjalan. Kalau hanya bermanfaat tiga bulan, itu bukan pembangunan, melainkan pemborosan,” ujarnya.
Proyek yang awalnya dimaksudkan sebagai simbol keberhasilan pemerintah daerah dan pusat kini masuk dalam daftar proyek gagal di Sigi.
Bangunan fisiknya ada, dana besar terserap, namun fungsi yang dijanjikan tak pernah benar-benar bertahan.
Proyek ini menambah deretan panjang proyek air bersih di daerah yang berhenti sebelum waktunya. Di atas kertas, semuanya terlihat rapi pagu jelas, kontrak lengkap, dan pemenang lelang tercatat resmi.
Namun, begitu fasilitas selesai, aliran air yang diharapkan menjadi nadi kehidupan warga hanya menjadi kenangan singkat.
Sementara itu, musim kemarau terus memanjangkan antrean jeriken di truk tangki. Air sumber kehidupan yang dijanjikan mengalir tanpa putus, justru mati di tengah jalan.
Dan sampai kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak BWSS III Ditjen SDA Kementrian PU untuk menjelaskan mengapa sumur miliaran rupiah itu tak lagi mengalir.