ADA GAJAH DIBALIK BEBATU…

SEMUA PIHAK tanggap terhadap Dwi Cahyo Rahmadony, yang memangku jabatan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), di lembaga vertikal satuan kerja SNVT Pelaksanaan Jaringan Sumber Air  Sulawesi III, dengan kontraktor pelaksana pada proyek pembangunan tanggul Pengaman pantai di Kabupaten Buol yang diduga menyimpang.

Kontribusi kontraktor pelaksana pada proyek yang menelan anggaran miliaran rupiah ini, tampak mencolok dengan cara mengkadali agar hasil pekerjaan terlihat samar – samar baik. Meskipun sumber material batu gajah, yang digunakan oleh rekanan di dua lokasi yang berbeda dengan menggunakan satu lampiran dokumen hasil tes pengujian Laboratorium.  Akankah ini menjadi petunjuk awal, untuk memutus mata rantai permainan pintu belakang yang ditenggarai terindikasi rasuah itu ?.

Pada tanggal 14 Juli tahun 2017 lalu, satuan kerja SNVT Pelaksanaan jaringan sumber daya air Sulawesi III, membuka pengumuman pascakualifikasi sebagai tahap lelang saat itu. Setelah melalui proses perubahan berkali-kali. Empat bulan kemudian tepatnya tanggal 5 September 2017 lalu, panitia tender melakukan penetapan pemenang.

PT Menara Megah Pratama, dinyatakan keluar sebagai perusahaan pemenang pada tender yang diikuti sebanyak 205 peserta dengan kode lelang 31856064. Tidak main-main harga penawaranya pun terendah senilai Rp9.477.240.000, dari pagu anggaran yang dibandrol Rp11.848.043.000.

Pertengahan September, puluhan unit mobil bak terbuka ngalor ngidul sepanjang jalan dalam kota Buol, beriringan dengan mengangkut material batu gajah untuk proyek tanggul pengaman pantai yang dikerjakan oleh PT Menara Megah Pratama. Maklum proyek yang berdurasi empat bulan itu terus digenjot meskipun banyak menyerempet rambu.

Standart speksifikasi material yang digunakan untuk proyek tersebut jelas sudah ditetapkan oleh pihak pengguna anggaran. Yakni harus bersumber dari quary atau perusahaan tambang galian c dengan memiliki standart tempat riset ilmiah experimen pengukuran benda atau Laboratorium. Hal ini melalui surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 07/SE/M/2010 tentang Pemberlakukan Pedoman Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Pengaman Pantai harus melalui Perijinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yaitu pengambilan bahan tambang dan penambangan galian C.

Jika merujuk pada standart tersebut, tentunya pihak pengguna anggaran yang menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada proyek itu, jelas mengacu dengan harga satuan kubikasi material tertentu, yang dihasilkan melalui quary perusahaan pertambangan batu yang berbadan hukum dan telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta hasil LAB yang diterbitkan oleh lembaga terkait.

Tentunya jika hal itu benar adanya, kemungkinan besar terjadi selisih harga satuan kubikasi material yang begitu mencolok. Dimana jika harga satuan kubikasi material yang didatangkan dari quary yang memiliki hasil LAB sesuai rujukan standart pada proyek tersebut dari wilayah Kota Palu atau Kabupaten Donggala yang diketahui memiliki sejumlah pabrik pertambangan galian C, tentunya jauh berbeda dengan harga satuan material lokal yang berada di sungai Desa Tuinan, Kabupaten Buol, yang notabene bukan material dari quary atau perusahaan pertambangan galian C serta diduga tidak memiliki hasil tes pengujian LAB.

Lantas dari mana pihak rekanan mendapatkan hasil LAB material dari sungai desa Tuinan itu?, padahal di desa tersebut tidak ada IUP produksi lokasi pertambangan galian C. Banyak pihak yang menuding pelaksanaan proyek tanggul pengaman pantai Buol tersebut diduga telah menyerempet rambu dengan menggunakan jenis material batu gajah yang bersumber dari material lokal yang tidak memiliki IUP Galian C serta tidak melalui tes pengujian LAB. Sudah barang tentu dengan kejadian itu akan membuat proyek yang menelan anggaran miliaran rupiah itu tidak akan bertahan lama dan akan menimbulkan kerugian keuangan negara.

Proses pengawasan pekerjaan proyek yang disinyalir menyimpang itu juga patut dipertanyakan. Meskipun pada pertengahan pelaksanaan proyek itu sempat dihentikan setelah pihak kontraktor pelaksana menggunakan material batu lokal. “Ini proyek pak sempat dihentikan, menurut konsultanya waktu itu karena pihak kontraktor menggunakan material lokal. Katanya sih tidak boleh pake batu lokal,” kata salah satu warga yang bersedia menjadi sumber trilogi.co dan meminta identitasnya tidak di publiskasikan.

Memang selama proses pelakasanaan proyek pegaman pantai sepanjang 250 meter tersebut, pihak kontraktor mengunakan material batu lokal yang diambil dari sungai di desa Tuinan, meskipun sebelumnya pihak kontraktor mendatangkan separuh material dari kawasan pertambangan galian c dari wilayah Kota Palu atau Kabupaten Donggala. “Selain komposisi material batu di komplain, proyek itu juga pada galianya tidak terlalu dalam makanya badan permukaan tanggul  pengaman pantai itu berbeda beda bahkan ada yang ambelas.” Beber sumber kepada trilogi.co satu pekan yang lalu.

Dalam proyek ini seharusnya jika pengawasan dilakukan secara baik, masalah itu akan terdeteksi lebih awal dan bisa dicegah dengan melakukan teguran kepada pihak rekanan atau memberhentikan pekerjaan itu. Tidak hanya membiarkan begitu saja tanpa melalui prosedur yang telah diamanahkan dan sudah menjadi standart pada proses pengadaan barang dan jasa. Lantas Siapa orang dibalik proyek pembangunan tanggul pengaman pantai itu ?.

Dia adalah, Dwi Cahyo Rahmadony, yang memangku jabatan sebagai PPK di satuan kerja SNVT Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Sulawesi III. Dialah orang yang bertangungjawab pada proyek yang menelan biaya puluhan miliar ini. Ketika dikonfirmasi terkait perusahaan yang mengerjakan proyek itu, Dwi Cahyo Rahmadhony mengatakan jika perusahaan kontraktor itu berasal dari Sulawesi Utara, meskipun informasi yang berhasil dihimpun dilokasi proyek menyebutkan jika kontraktor pelaksananya adalah Fachrudin Yunus salah satu kontraktor lokal di Palu.

“Bukan pak itu perusahaan manado yang kerja. Ya kalo yang ttd kontrak dengan saya direkturnya langsung, kalo dia kasih kerja ke vendor lain ya saya kurang tau yang jelas saya bayar atas nama pt menara megah,” kata Dwi Cahyo Rahmadony, kepada Trilogi.co.

Ditanya soal perbedaan komposisi dan fisik material batu gajah yang sudah terpasang pada proyek tersebut, dimana sebagian material batu gajah didatangkan dari luar Kabupaten Buol dengan menggunakan armada tongkang, dan sebagian pula di ambil dari kerukan sungai desa Tuinan. Dengan komposisi tersebut, alhasil terjadi perbedaan fisik dari sumber material yang digunakan. Namun Dwi Cahyo Rahmadony, memilih tidak tahu menahu soal sumber material yang digunakan pada proyek itu, meskipun peran pengendali penentu spekfisikasi material itu ada dibawa kendali dirinya.

“ Saya kurang tau, tapi memang yang kita bayar yang terpasang pak, masalah material beda dll, menurut saya tdk masalah selama bangunan berfungsi Dan tidak menyalahi spektek, yang bunyinya Batu berasal Dari Batu gunung atau Batu kali. Ya itu terserah kontraktornya mau ambil dimana material says tidak bisa mendekte, sepanjang terpasang sesuai desain Dan masuk spek kita bayar. Di spek cuma bilang material terpasang dilampirkan hasil uji labnya. Untuk jelasnya bapak Tanya yg kerja saja saya cuma pejabat pembuat komitmen, Yg jelas saya sudah sesuai prosedur,” katanya.

Hasil penelusuran Trilogi.co sepekan yang lalu, tampak kualitas material batu gajah pada proyek yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS) tampak compang-camping. Diameter komposisi material bervariasi.

Dimana hasil pantauan dilokasi ditemukan susuanan material batu gajah kebanyakan berdiameter 30-40 cm dengan volume diperkirakan mencapai 70 persen. Artinya dengan kondisi tersebut, pemasangan material itu lebih banyak menggunakan batu berukuran dibawah dari 30kg. Padahal breakwater atau pemecah gelombang digunakan pada perlindungan perairan pelabuhan, serta bisa juga untuk perlindungan pantai terhadap erosi.

Tujuanya Breakwater atau dalam hal ini pemecah gelombang lepas pantai  adalah bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai. Pemecah gelombang dibangun sebagai salah satu bentuk perlindungan pantai terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang sebelum sampai ke pantai, sehingga terjadi endapan dibelakang bangunan. Lantas bagaimana dengan kondisi masterial yang digunakan dari material seadanya ?.

Hasil riset Trilogi.co.id, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS) telah dua kali mengucurkan anggaran belasan miliar untuk membiayai proyek pembangunan pengaman pantai Leok I Kabupaten Buol. Sebelumnya di tahun 2015 pengaman pantai tersebut dibiayai sebesar Rp15.322.880.000, yang dimenangkan oleh PT Handaru Adhiputra JO PT Wahana Cipta Lestari (KSO). Kondisi materialnya pun turut memprihatinkan. Pada Tahun 2017 lalu, anggaran pun kembali mengucur pada proyek yang sama dengan nilai kontrak sebesar Rp9.477.240.000, dari pagu sebesar Rp11.848.043.000, yang dimenangkan oleh PT Menara Megah Pratama.

Penulis : Tim Trilogi.co.id